[5]

1K 107 2
                                    

"Dia itu ..." Aku menggantungkan kalimatku. Masa iya aku harus mengatakan bahwa dirinya menyebalkan? Tapi, 'kan, itu memang benar. "Rada ngeselin, sih, orangnya. Bikin gemes. Tapi ... dulu dia sering jadi ustadnya Sam, sering ngingetin buat shalat malam dan masih banyak lagi sih." Jujur, masih banyak hal positif yang dia lakukan padaku, hanya saja aku malas menyebutkannya satu per satu. "Dan menurutku dia orangnya cukup agamis, cocok buat jadi calon imamnya Sam ..."

"Imam ndasmu..."

"Adek!" Mamah berteriak. "Cangkemmu!"

"Iya, maaf, Mah ..."

Aku juga ikut-ikutan sebal. Sudah kubilang, 'kan? Ini urusan orang dewasa. Anak kecil sepertinya belum boleh ikut campur masalah ini.

"Sam," panggil ayah. "Ayah akan mendukung keputusan kamu. Kamu benar, kalau ada seorang pria datang dengan niat tulus melamar, kamu boleh mempertimbangkannya. Kamu sekarang sudah besar, usia kamu juga sudah matang untuk menikah. Jadi, bilang ke Radikamu itu untuk datang ke sini kalau dia memang ingin melamar anak Pak Sudradjat."

Mataku langsung berbinar. "Jadi, Ayah setuju? Mamah juga?"

"Kalau Ayah setuju, Mamah ikut-ikutan setuju juga."

"Jangan lupa bilang ke Radikamu, ke sini nggak boleh bawa tangan kosong, harus bawa buah tangan, minimal martabak pecenongan lah," kekeh ayah.

"Ih, Ayah!"

[***]

Chat. Enggak. Enggak. Chat. Chat. Enggak.

Duh! Kenapa sampai sekarang aku masih gengsi, sih? Takutnya nanti aku dibilang kurang kerjaan, ya memang pada dasarnya aku sedang tidak bekerja 'kan hari ini. Pun, sebenarnya, aku hanya ingin memberitahukan kabar gembira padanya ... atau aku kasih tahu pas ketemuan saja, ya?

Kabar gembira? Hahaha. Ingin kutertawa rasanya.

Aku dikagetkan dengan layar ponselku yang tiba-tiba menyala. Dari Radika! Baru saja diomongin orangnya, sudah muncul saja.

Radika IPA-1:
Sam
Sibuk nggak?

Aku menggeleng. Duh, goblok banget. Padahal dia juga nggak bisa melihat aku yang menggeleng ataupun sedang tersenyum bak orang gila begini.

Oke. Aku nggak boleh gengsi. Langsung kubalas saja chat darinya.

Me:
Enggak kok
Lagi tiduran
Gue masuk shift siang soalnya
Kenapa?

Aku menggigit bibir bagian bawah. Chat-ku masih belum dibaca. Hmm ... mungkin dia lagi sibuk, sekarang 'kan masih pagi. Seharusnya dia sudah di kantor, 'kan?

Dan tiba-tiba saja layar ponselku kembali berdenting. Kupikir itu Radika, namun senyumku sedikit meluntur ketika mengetahui nama pengirim pesan tersebut.

Melia:
Bubur samsaaam
Sombong dih sekarang
Gue kangen banget sama lo
Ketemuan yuks?

Notifikasi pesan dari Melia masih belum kubuka. Kubiarkan sejenak, memikirkan apa yang ingin kubalas padanya. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya kubuka juga chat darinya, membalasnya dengan nada yang sama.

Me:
Uuuy
Lu yang sombong dih wkwk
Gue juga kangeeen
Udah lama banget kita nggak ketemuan
Hayulah kapan?


Melia adalah temanku sejak zaman SMA, tepatnya dari kelas sepuluh. Aku tahu sekarang dia bekerja di Jakarta. Hanya saja karena urusan pekerjaan, kami jadi jarang bertemu. Bisa kubilang Melia merupakan sahabatku karena kita berdua memulai pertemanan dari hobi yang sama. Dan aku .... merupakan satu-satunya orang yang mengetahui bahwa sejak dulu; Melia suka dengan Radika.

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang