[11]

716 85 0
                                    

"Radika."

Kupanggil namanya dengan nada mengantuk. Aku sedikit memajukan kepala di salah satu sisi bahunya, memastikan bahwa pria itu mendengar panggilanku.

"Hm? Kenapa?" sahutnya sembari melirik ke arahku lewat spion.

"Gue ngantuk banget, mata gue nggak bisa diajak kompromi lagi," ucapku jujur, membuat Radika justru tertawa.

"Tadi 'kan gue udah bilang, mau pinjem punggung gue ya silakan, mau sekalian peluk juga gratis, kok."

Sempat-sempatnyaaa bujang satu ini.

"Tapi gue 'kan pakai helm, lo pasti bakalan nggak nyaman kalau gue nyender pakai helm begini."

Setidaknya aku harus tahu diri, walaupun sepertinya Radika tampak tak sungkan.

"Helmnya mau dilepas aja?"

"Emangnya nggak papa?"

"Ya daripada kepalanya yang dilepas, 'kan lebih bahaya."

Ingin rasanya kucubit pinggangnya itu saat mendengarkan kekehannya yang cukup menyebalkan di runguku.

Perlahan, laju motor pun terhenti di pinggir jalan. Radika sedikit menyerongkan tubuhnya ke arahku, membuat kepalaku refleks bergerak mundur.

"Udah sini helmnya dilepas aja, nanti gue jalan pelan-pelan. Lagian ini udah malem, nggak ada polisi juga."

Akhirnya aku menuruti ucapan Radika. Setelah melepas helm, pria itu pun mengambilnya dari tanganku dan menaruhnya di depan.

Tanpa berucap lagi, kusandarkan kepala di punggung pria itu. Tanganku refleks meremat jaketnya sebagai tumpuan pegangan, siapa tahu aku beneran tiba-tiba terjatuh. 'Kan nggak lucu kalau aku beneran terjungkal dari motornya.

Radika pun kembali melajukan motornya. Pria itu tidak lagi mengajakku ngobrol, sebab pasti dia tahu kalau aku sudah tidak bisa diajak berkomunikasi. Walaupun begitu, samar-samar aku masih dalam keadaan setengah sadar. Pun aku masih bisa mendengar dirinya bersenandung dalam dehaman. Jelas saja, karena telingaku menempel di punggungnya sehingga vibrasi dehamannya mencapai runguku.

Tanpa terasa, tiba-tiba saja Radika kembali menghentikan motornya. Pria itu menepuk-nepuk pelan tanganku yang masih memegangi jaketnya dengan erat.

"Sam? Mimpinya udah sampai pelaminan belum?" tanya Radika dengan nada pelan.

"Hah?" 

Dalam keadaan setengah sadar, aku mengangkat kepala dari punggung Radika. Mataku mengerjap pelan sembari menatap sekeliling. Ah, ternyata aku sudah sampai di depan rumahku?

"Kumpulin dulu nyawanya," ucap Radika sembari menggoyang-goyangkan tanganku yang ternyata masih meremat jaketnya. "Awas nanti malah oleng." 

"Iya, iya," balasku sambil turun dari motor. "Makasih, ya. Maaf udah ngerepotin."

Sebelum menyahut jawaban, Radika menyodorkan plastik hitam yang kuketahui merupakan bungkusan martabak. "Jangan lupa makan dulu, yang tadi dihabisin ya. Yang satunya lagi buat orang rumah juga. Salam buat ayah sama mamah."

Aku yang tak terlalu fokus dengan ucapan Radika pun justru mengambil langkah untuk mendekat. Tanpa berbicara, kutarik resleting jaketnya yang ternyata terbuka hingga mencapai dada. Pria itu sedikit mendongak saat aku menarik resleting mencapai lehernya.

"Ini udah tengah malem. Risiko kena paru-paru basah lumayan tinggi."

Satu tarikan senyuman terbit di bibirnya. "Akhirnya di-so-sweet-in juga."

Aku pun menggeram sebal. "Ini namanya gue peduli sama kesehatan lo."

"Iya iya yang peduli mah," balasnya dengan nada mengejek, lalu pria itu kembali menyalakan mesin motornya. "Ya udah, gue pulang ya. Assalamu'alaikum."

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang