Radika's pov [3]

405 50 1
                                    

Jatuh cinta itu nggak mandang umur. Sekali pun elo sudah melewati fase menopause atau andropause, kalau lo jatuh cinta, kelakuan lo bakalan kelihatan mirip anak-anak abege yang kesemsem sama gebetan. Hukum jatuh cinta memang kayak gitu. Ya walaupun sekarang gue belum tua, masih seperempat abad, tapi gue merasakan jatuh cinta (lagi) dengan orang yang sama.

Mungkin, dulu gue memang bukan cuma suka sama Sam, tapi udah masuk ke dalam stase jatuh cinta sama dia. Cuma, dulu mungkin ketutup sama masa-masa SMA, jadinya kisah cinta gue bertajuk cinta monyet doang, nggak paham dengan arti jatuh cinta yang sebenarnya.

Jatuh cinta itu aneh. Nggak pernah ketemu sama orangnya sampai bertahun-tahun, tapi bisa-bisanya gue masih memikirkan dia. Padahal belum tentu juga Sam memikirkan gue juga. Dan di saat gue kembali melihat dia, walaupun gue tahu dia masih belum sadar kalau diam-diam gue mengikuti Sam demi tahu dia bekerja di mana, terdapat percikan di dada yang dulu pernah pengin gue buang, tapi 'kan nggak bisa.

Terdengar picisan, sih. Tapi, yah, gimana? Gue nggak mau buang-buang waktu lagi untuk sekadar menyangkal. Gue sadar, dulu gue udah ngelepas Sam begitu aja, dan nggak ada usaha sama sekali untuk ngerebut dia lagi. Bahasa kasarnya sih begitu. Dan untuk sekarang, gue bakalan bodo amat kalau dia masih pacaran sama anak IPS itu, atau mungkin dia punya pacar yang baru. Lagian, nggak ada berita kalau dia mau menikah, tuh? Kayaknya nggak mungkin juga deh kalau udah. Anak-anak kelas kebanyakan pasti bakalan ngirim undangan ke grup kelas kalau mau menikah. Dan Sam, apalagi gue, belum pernah kasih pengumuman itu ke grup kelas kami.

Bakalan kasih kok, kalau di undangannya ada tulisan Pernikahan 'Radika dan Samara'. Hahahaha. Mengkhayal aja dulu, benerannya setelah 3 bulan kemudian.

Setelah gue tahu dia kerja di mana, walau jelas-jelas dia pakai seragam rumah sakit, gue memberanikan diri untuk menghubungi Sam, yang untungnya dia nggak pernah ganti nomor telepon. Rada dag-dig-dug juga sih, karena saking lamanya kita berdua udah nggak pernah nge-chat lagi.

Alhamdulillah dia ngerespon seolah kita berdua nggak pernah putus kontak. Dia masih galak, sama seperti biasanya. Dia juga bersikap seperti ... nggak punya pacar? Gue sih merasanya begitu. Tapi, bisa aja salah 'kan? Waktu itu aja diam-diam gue ketikung sama curut IPS itu.

Ah, itu sih sebenarnya gue juga yang turut punya andil salah.

Iya, iya, gue yang salah. Nggak ghosting lagi kok kali ini, beneran deh. Udah tobat. Tapi maunya sama Sam aja, hehehehehehe. Nggak mau yang lain.

Beneran. Gue udah mantap buat naik ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi, naik? Pacaran sama dia aja nggak pernah, naik ke jenjang mana coba?

Ya anggap saja gue loncat ya, tanpa perlu ada pacar-pacaran segala. Haram, tahu. Jadi, daripada berlaku yang haram-haram, mending langsung halalin aja, 'kan?

Tapi, lo pikir gue bisa semantap itu untuk melamar Sam?

Tentu aja nggak, teman-teman. Ada yang namanya sholat istikharah. Setiap sholat gue doa, apa Sam beneran jodoh gue? Apa bayang-bayang Sam selama ini sebenarnya adalah tuntunan buat gue bisa jalan ke dia secara langsung?

Setelah gue mendapat jawaban dan ada rasa mantap yang benar-benar ngena di hati, gue baru bisa berhadapan ke Sam dan menunjukkan keseriusan gue. Untungnya, gue mendapatkan lampu hijau.

Kita jadi kayak nostalgia di zaman SMA. Gue jujur aja emang nggak ngajak dia pacaran, tapi langsung ke pernikahan karena tujuan gue memang cuma itu. Gue nggak mau melewati kesempatan lagi.

"Kenapa gue?"

Ini pasti pertanyaan yang sering ditanyain perempuan 'kan kalau habis ditembak? Begitu pula Sam, walau tajuknya adalah lamaran yang nggak resmi.

"Karena lo cuma ada satu."

Langsunglah gue dapat pukulan. Galaknya muka Sam juga mempresentasikan betapa sakitnya pukulan doi. Tapi, gue tahan aja. Nggak sesakit pas ketikung si curut IPS itu, kok.

Ya 'kan, ya 'kan, bahas aja teros.

"Gue masih inget ya lo bilang gini, 'Si Sam ada satu aja udah ngerepotin, apalagi kalau banyak gitu'!"

Gue ngakak aja, lupa juga pernah bilang kayak gitu ke dia. Yang pasti gue cuma bercanda, gue 'kan memang doyan ngeledekin dia.

"Mulut sama hati 'kan sering nggak singkron, Sam," bela gue.

Sam pun menggeleng, raut wajahnya mulai serius. "Nggak. Gue butuh jawaban yang serius. Gue mau jawaban yang bisa gue terima."

Setelah dia bilang begitu, gue sadar. Dia udah berubah. Kita berdua udah berubah. Gue sama dia udah jadi orang dewasa, udah nggak lagi lempar-lemparan kode kayak dulu yang bahkan bisa bikin hubungan kita berdua retak lagi. Walaupun wajahnya kelihatan merah setelah melontarkan kalimat itu, gue tahu, Sam mencoba mempertahankan tembok yang sudah dia buat setelah kita berdua nggak lagi saling kontak. Dia masih bersikap defensif, seolah-olah gue datang lagi hanya untuk mempermainkan dia.

Yah, gue nggak bisa menyalahkan Sam juga, sih. Lagi-lagi, memang gue yang salah. Cowok selalu salah pokoknya. Tapi, gue mengakui kalau gue yang salah. Jadi, gue harus berusaha untuk ngebuat Sam percaya lagi sama gue; percaya kalau gue nggak lagi bercanda kayak dulu, percaya kalau gue memang mau menjalin hubungan serius sama dia.

"Sebelum gue bener-bener berani deketin elo lagi, gue banyak doa. Tentang lo, tentang masa depan gue. Mungkin, gue berdoa emang cuma akhir-akhir ini doang buat mantepin hati. Tapi selama ini, selama kita nggak pernah kontak lagi, tanpa sadar gue masih belum bisa ngelupain elo, di saat bahkan gue nggak mikirin elo sama sekali."

Mata Sam tampak menyelidik, kayaknya dia nggak percaya kalau gue ngomong kayak gitu. Padahal, gue udah mati-matian nahan malu buat ngomong gitu doang.

"Terserah elo mau percaya atau enggak. Tapi, dengan adanya lo di alam bawah sadar gue, gue meyakini satu hal. Ada yang belum selesai di antara kita. Dan karena itu, gue mau selesain masalah itu. Gue sama lo ... mungkin penyelesaiannya dengan nikah?" Mungkin dia mendengar gue dengan vokal yang ragu, tapi sebenarnya gue lagi benar-benar malu! "Gue capek mikirin lo mulu di saat bahkan gue nggak pernah ketemu sama lo lagi."

Gue menutup konversasi dengan menjauhi tatapan dari Sam. Anjir, gila. Malu banget gue. Nggak pernah seterbuka ini gue sama perempuan. Sama emak gue aja nggak pernah.

Setelahnya, gue malah nggak mendengar balasan dari Sam, ngebuat gue mau nggak mau melihat lagi ke arah dia yang kini sudah bersedekap dan beralih menatap ke arah lain.

"Dari dulu ke mana aja?" Pertanyaan yang sebenarnya terdengar retoris banget, apalagi dari mulut perempuan. Tapi, gue ngakak kecil aja, menyadari kebodohan gue di masa lalu. "Kena karma 'kan lo gara-gara kelakuan lo sendiri?"

"Khilaf, Sayang."

"SAYANG SAYANG PALA LO PEYANG!"

Gue ketawa aja. Samara tetaplah Samara yang doyan marah. Tapi gue tahu, sebenarnya dia lagi malu. Dan nggak mau gue ledekin dulu walaupun dia kelihatan gemes banget, takutnya kelewatan lagi kan gue. Padahal tujuan gue cuma satu, dapetin jawaban 'iya' dari Samara.

[***]

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang