[34]

522 48 0
                                    

Seperti biasa, sepulang kerja, aku pasti langsung menuju kamar mandi untuk membasuh diri. Bahkan, pakaian sudah kupersiapkan dan kutaruh di kamar mandi sebelum benar-benar berangkat kerja, biar aku nggak perlu ngubek-ngubek lemari untuk cari baju lagi. Kebiasaan ini mulai aku lakukan semenjak covid mewabah. Padahal, biasanya, aku pasti riweh sana-sini dulu. Tapi, karena aku kerja di rumah sakit, walaupun tempat aku kerja bukanlah rumah sakit rujukan covid, aku nggak mau mengambil risiko dengan menyepelekan hal yang sebenarnya cukup fatal ini.

Sehabis mandi, apalagi tadi aku dapat shift siang dan baru pulang jam 8 malam, bawaannya pasti ngantuk. Padahal aku belum makan, dan jujur saja kasur lebih menggiurkan daripada mie goreng ditambah telor ceplok.

"Heh! Heh! Mau ke mana?"

Aku menghentikan langkah sebelum benar-benar masuk ke dalam kamar. Sesungguhnya, aku malas menggubris, karena rasanya tubuh lagi remuk banget. Shift siang ituuuu, hmmmm, sesuatu banget deh ya. Susah banget buat istirahat sebentar. Syukur-syukur bisa duduk atau selonjoran kaki.

"Makan dulu sini."

"Udah gosok gigi, ih. Aku mau tidur aja."

Kalau sudah gosok gigi, aku pasti nggak akan makan lagi atau minum-minuman yang berasa. Pokoknya kecuali air putih. Apa ya? Kayak jadi kebiasaan gitu sebelum tidur mulut harus benar-benar bersih. Kalau sudah gosok gigi tapi setelah itu makan, pasti aku harus gosok gigi lagi.

"Nggak, nggak. Pokoknya harus makan dulu. Aku cekokin kalau perlu."

Radika langsung menghampiri, menyeretku untuk berjalan menuju meja makan. Dia tahu banget, pasti aku nggak akan datang dan menurut padanya bila nggak langsung disamperin dan ditarik kayak kambing begini.

Di meja makan, sudah ada satu mangkok soto dengan sepiring nasi. Kayaknya dia tadi beli di dekat kantornya setelah pulang kerja.

"Kamu udah makan?" tanyaku setelah dia menarik bangku dan menyuruhku untuk duduk.

Radika mengangguk, aku pun mengambil sendok dan mulai mencicipi sotonya. Walaupun nggak selera-selera amat, tapi lambung juga perlu diisi.

"Terus? Ngapain di sini? Mau makan lagi? Berdua bareng aku?"

"Nggak. Itu buat kamu. Aku udah makan, kok."

"Terus?"

"Apanya yang terus? Mentok dong?"

Nah, 'kan. Mulai nih tercium bau-bau keanehan nan mencurigakan. Memangnya dia kira aku ini layar televisi yang terus dilihatin kayak gini? Padahal, biasanya kalau lagi nggak makan bareng, pasti dia main PS sendiri, atau ngapainlah nggak tahu. Pokoknya, nggak cuma duduk bengong nemenin aku makan. Kayak nggak ada kerjaan.

"Kamu masukin sesuatu ke sotonya, ya?"

Bodo amat nuduh. Habis, Radika kelihatan mencurigakan begitu sih.

"Iya, aku kasih cinta."

Aku langsung terbahak. Receh banget ini orang. "Cuih, cinta-cinta. Sotonya beli aja pake bilang dikasih cinta."

Maksudku, kalau dia masak 'kan baru pantas tuh dibilang masaknya pakai bumbu cinta. Begitulooooh. Lah tapi 'kan ini beli.

"Lagian, kok kamu tau aja kalau aku belum makan?"

Sebenarnya aku bisa saja makan cepat dan segera pergi tidur. Tapi itu kalau aku lagi makan sendiri. Nah, ini orang 'kan sejak tadi ngejogrog gitu saja di depanku. Cuma bolak-balik ngelihatin sendokku seakan minta disuapin.

Radika tampak berdecak. "Tolong, ya. Aku ini orangnya pekaan. Lagian, kamu, udah tau jadi tenaga kesehatan. Tapi kok ngerawat kesehatannya sendiri malah ogah-ogahan?"

Ah, benar juga ya. Walau aku tenaga kesehatan, dan tentu saja aku tahu bagaimana pola sehat yang seharusnya, aku dan rekan-rekanku sejawat lainnya merupakan manusia yang hidup paling tidak sehat. Makan nggak pernah teratur; bahkan tadi aku sempat ingin melewati jam makan. Tidur pun juga begitu, dikarenakan dalam bekerja aku dibagi per-shift, nggak bisa pagi terus ya karena aku bukan kepala ruangan.

Ketimbang masak yang memang seharusnya lebih sehat, aku keseringan jajan karena lebih praktis, tidak repot. Untung saja Radika memaklumi. Bahkan dia sering menggantikanku untuk masak. Ya kalau jajan terus sih pemborosan namanya.

"Iya juga, ya. Tapi kayaknya nggak aku doang deh. Temen-temen kerjaku juga gitu semua. Nggak dokter, nggak perawat, nggak bidan, semuanya begitu. Eh eh eh, tapi nggak deng. Ada satu dokter yang aku perhatiin dia tuh kelihatan sehaaat banget. Seger banget keliatannya. Bugar mulu tiap hari. Katanya sih dia masih sempetin buat olahraga. Nggak heran badannya sekel mantap begitu."

"Dokternya cewek apa cowok?"

"Cowok dong, namanya juga nyegerin mata."

Radika terdiam sejenak. "Sama aku? Nyegerin mana?"

"Ih. Kamu mah kalah. Kamu aja nggak pernah olahraga, padahal jam kerja kamu selalu sama tiap hari."

"Nggak pernah gimana? 'Kan tiap malem kita olahraga, bareng-bareng lagi. Masih kurang?"

Kali ini aku yang terdiam, mencoba mencerna kalimat Radika. Perlahan, aku mulai memahaminya. Dan kalau saja aku benar-benar tega, sudah kulempar sendok yang masih kugenggam ini.

"AKU LAGI MAKAN, ISH!"

"'Kan kamu yang mulai duluan, kok nyalahin aku, sih?"

Hhhhh. Memang ya sehari saja tidak ada perdebatan di antara kami berdua. Tapi entah kenapa aku malah merasa bersyukur. Di saat aku jelas-jelas tidak mementingkan kesehatanku sendiri, tanpa diminta Radika justru mengisi peran tersebut.

[***]

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang