Saat kami berdua sampai di pekarangan rumah sakit, salah satu dari trio satpam sontoloyo itu muncul lagi. Seperti biasa, nggak ada habis-habisnya untuk menggodaku.
"Wah, Mas e beneran calonnya Mbak Mara, ya? Sekarang berangkat kerja ada yang nganter nih, Mbak Mar," kekeh satpam itu.
"Pak, urusin tuh perut, jangan ngurusin orang lain mulu," balasku dengan nada judes. Radika malah tertawa saja dan hal itu justru membuatku sebal.
"Mbak Mara marah-marah terus, ngidam ya?"
"SEMBARANGAN!"
"Cepet dikawinin, Mas," satpam itu menyenggol siku Radika. "Biar muka judesnya Mbak Mara ilang. Dari dulu gitu-gitu terus mukanya."
"Makanya jangan usil jadi manusia!"
"Udah, udah," Radika masih terkekeh, tetapi dia mencoba menarikku untuk menjauhi satpam tersebut. "Yang kayak gitu makanya jangan diladenin, malah makin jadi dianya," ceramah Radika.
"Habis, nyebelin banget. Pengin tak jewer mulutnya itu."
"Kasih jurus tatapan laser elang lo, lah. Barangkali lebih ampuh. Belum ilang 'kan dari dulu?"
"Ah, dia mah didiemin juga nyahut aja terus. Eh tapi, lo kenapa ikut gue? Kok nggak langsung pulang?" Aku baru menyadari kalau ternyata Radika terus saja berjalan bersamaku menuju pintu rumah sakit.
"Ada yang mau diomongin bentar."
Aku mengernyit heran. Kenapa ngomongnya nggak pas di perjalanan tadi saja?
"Lo udah siap buat ketemu sama orang tua gue? Gue mau kenalin lo ke mereka. Gimana?"
HAH? GIMANA? GIMANA?
Aduh ... pusing hamba. Bisa-bisa konsentrasiku buyar pas kerja, nih. Harusnya dari kemarin-kemarin aku memikirkan bahwa hal ini akan terjadi. Tetapi, kenapa aku malah santai-santai saja, ya? Padahal yang menjalani ya aku dan Radika, bukan hanya Radika saja.
"Ng ... kapan?" Aku nggak mungkin menolak, 'kan? Kesannya, aku menunda-nunda terus dan selalu merasa belum siap. Yah, sebenarnya memang belum siap, sih. Tapi, mau sampai kapan kalau aku begini terus?
"Pas lo libur aja, malem hari, sekalian makan bareng. Gimana?"
Aduh ... belum bertemu dengan orang tuanya saja aku sudah deg-deg-an. Gimana kalau bertatapan langsung coba? Ini kali ya perasaan Radika pas bertemu dengan orang tuaku kemarin?
"Makan bareng sama keluarga lo?"
Radika mengangguk. "Gimana? Mau?"
Aku berpikir keras, namun bukan maksudku untuk menolak ajakannya. Mengundur ... boleh, 'kan? Aku belum siap-siap banget, nih. Deg-deg-an tingkat sutet.
"Lo nggak capek habis kerja?"
"Kalau gue sih nggak masalah. Toh kata orang tua gue juga lebih cepat lebih baik. Lo belum siap, ya?" Sepertinya Radika bisa menangkap raut tidak nyamanku.
"Nggak gitu ..." Aku menghela napas. "Nanti gue cek dulu ya jadwal liburnya kapan, atau mungkin pas gue ada jadwal pagi, malemnya pasti gue bisa. Gue nggak hapal jadwal, jadi, nanti gue kabarin lagi, ya?"
Radika mengangguk pelan. "Berarti malem ini lo pulang sekitar jam delapan, 'kan?"
Aku pun berdeham pelan untuk menjawab pertanyaannya.
Pria itu menatapku sejenak. "Gue jemput, ya?"
"Nggak usah!" tolakku langsung sembari menggeleng.
"Lo cewek, Sam. Bahaya malam-malam pulang sendiri," tegur pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNEXPECTED [✔]
Любовные романыSetelah delapan tahun tidak pernah lagi berjumpa, nyatanya hatiku masih berdebar pada pria yang sama.