[23]

618 63 5
                                    

Aku merasa bahwa dua puluh empat jam dalam sehari itu sangat kurang sekali. Perputaran waktu terasa begitu cepat, hingga aku baru menyadari bahwa pernikahanku tinggal menghitung tiga hari lagi!

Dan mau tahu apa bagian yang paling menyebalkan?

Aku masih harus bekerja disela-sela pikiranku yang pening akan acara pernikahanku nanti. Lelah fisik dan otak menjadi satu. Untungnya jauh-jauh hari Radika membelikanku banyak vitamin, dia sendiri juga yang keseringan mengingatkanku untuk meminum vitamin.

Hah. Boro-boro minum vitamin, makan saja terkadang aku masih suka kelewatan saking kelelahan bekerja, sebab yah tidur memang lebih terasa menggiurkan daripada mengisi lambung yang meronta.

"Kau kelihatan pucat deh, Mar," tegur Sasanti. "Lagi sakit kah?"

Aku menggeleng pelan. "Cuma lagi mens, biasa."

Biasa di sini maksudnya ya aku masih merasakan sakit di daerah perutku akibat kram, tapi tentu saja aku masih bisa beraktivitas. Biasanya nyeri seperti ini hanya hadir di hari pertama dan kedua.

"Wah!" Aku terperanjat saat Sasanti berteriak heboh "Suamimu nggak dapat jatah malam pertama dong?!"

"HUSH!" Aku mengibaskan tanganku ke arah wajahnya, menyuruhnya untuk mengecilkan suaranya yang seperti toa penjual barang-barang plastik keliling.

"Eh, eh, eh. Ada apa nih cerita malam pertama?"

Ah, tapi percuma saja. Suara toa si Sasanti ternyata diterima baik oleh rungu kelelawar teman sejawat yang memiliki nama yang sama denganku. Dia datang ke bilik perawat dengan wajahnya yang penuh dengan rasa ingin tahu.

"Si Mara lagi datang bulan, kau tahulah apa yang terjadi nanti," ucap Sasanti sembari menarik-turunkan kedua alisnya; membuatku ingin sekali menarik alis caterpillar-nya itu.

Samuel langsung tertawa lebar. "Laki lo lagi nggak rejeki ye, Mar."

"Kalian berdua nggak jadi gue undang! Bodo amat! Titik!"

Memang ya masa-masa menstruasi ini membuat perubahan mood-ku semacam rollercoaster. Padahal sebenarnya hal tersebut bukan lagi tabu untukku. Tapi entah kenapa aku sebal saja saat mendengarnya.

Si dua perkutut ini malah semakin tertawa. "Yah, padahal udah kuhadiahi lingerie, Mar. Sayang kali nggak bisa dipakai di malam pertama."

"Lingerie tuh apaan Mbak?"

Sasanti langsung menempeleng kepala Samuel. "Nggak usah sok polos kau!"

[***]

Detak jantungku mulai tak karuan saat menyadari bahwa tinggal delapan jam lagi acara akan dimulai!

Aku menginap di venue pernikahan, karena tempat ini juga menyewakan kamar. Bukan apa-apa. Masalahnya, walaupun sebenarnya aku nggak mau di-make-up terlalu tebal, tapi katanya kalau make up khusus untuk pernikahan itu cukup menguras waktu. Jadi, daripada aku grusak-grusuk dari jam dua malam hanya untuk ke venue dan melakukan make up, mending aku langsung menginap di tempat. Kebetulan Melia juga menemaniku, jadi aku nggak sendirian.

"Lo nggak tidur, Sam?"

Pertanyaan Melia mengusikku, yang membuatku kemudian melirik ke arah ponsel. Nyatanya saat ini jam menunjukkan pukul dua belas lebih lima belas menit. Kupikir dia sudah tidur. Ternyata kami berdua sama-sama tak bisa menjemput lelap.

"Nggak bisa, cuy," keluhku sembari menghela napas pelan.

"Curang lo nikah duluan. Yang tunangan duluan siapa, yang nikah duluan siapa. Sialan lah lu berdua."

Aku pun terkekeh dan menoleh ke arahnya. "Makanya, nggak usah pacaran lama-lama."

Melia tampak memajukan bibirnya. "Gue nggak bisa bayangin sih nanti setelah lo berdua merit. Bakal gimana ya jadinya?"

"Gimana apanya?"

"Maksud gue, nih ya, gue nggak bermaksud untuk mencuci otak lo dengan tiba-tiba lo membatalkan pernikahan besok secara sepihak. Amit-amit dah. Tapi, gue ini tahu banget watak lo berdua yang sama-sama keras kepala. Bahkan gue masih ingat dulu lo sama Radika pernah berantem 'kan gara-gara masalah ujian praktik?"

Hm ... Bahkan sampai sekarang aku masih ingat dengan kejadian itu.

Sebenarnya, hal ini sudah kupikirkan saat aku mempertimbangkan untuk menerima lamaran Radika atau tidak. Jelas, aku tahu sekali, persamaan sifatku dengan Radika adalah sama-sama keras kepala. Dan kami pun juga sering berargumen mengenai permasalahan yang sebenarnya nggak penting-penting amat. Intinya sih sangat sepele.

Tapi, pada saat itu aku sadar, bahwa nggak selamanya mungkin orang yang paling sabar itu bisa terus menahan amarahnya. Dia pasti punya titik sensitif di mana amarahnya bakalan meletus juga. Dari situ aku juga berpikir, jika aku dijodohkan dengan orang yang sabar pun, tetap saja ujung-ujungnya aku juga harus bisa menahan amarah untuk tidak menyentuh titik sensitifnya. 

"Walaupun kita berdua sama-sama keras kepala, mau nggak mau salah satunya harus ada yang ngalah, 'kan? Jujur aja gue termasuk orang yang susah nurunin ego. Jadi gue sama dia harus belajar mengalah satu sama lain, harus ada yang jadi air buat menyiram api. Selain itu, gue juga udah buat perjanjian sama Radika. Kalau suatu saat kita punya masalah rumah tangga yang bisa bikin kita berdua ribut, isi perjanjiannya masalah tersebut harus selesai di hari itu juga."

"Widih, keren juga lo berdua. Gue buat oerjanjian kayak gitu juga ah sama calon suami gue," kekeh Melia. "Berarti intinya kita harus saling mengimbangi isatu sama lain, 'kan?"

Aku mengangguk pelan. Tiba-tiba aku kepikiran sesuatu.

"Menurut lo ... kira-kira gue bisa nggak ya jadi ibu rumah tangga? Full time?"

Sejujurnya hal tersebut masih menjadi beban pikiranku sampai saat ini. Walau sebenarnya Radika juga tidak pernah mengungkit masalah tersebut.

"Emangnya Radika nggak ngebolehin lo kerja?"

Aku menggeleng pelan. "Nggak juga, sih. Setelah nikah, dia nggak ngelarang gue buat kerja. Cuma dia lebih nyaranin gue buat full time di rumah. Alasannya sih dia nggak mau gue kecapean," balasku sembari menghela napas. "Sejujurnya capek sih ya pasti capek. Siapa sih yang nggak capek kerja? Bahkan kadang kita tetap maksa masuk walau lagi sakit. Beda 'kan ya waktu kita zaman sekolah, maksa orang tua buat nggak masuk dengan alasan sakit."

Kalau diingat-ingat sepertinya dulu aku termasuk tipe siswa yang rajin. Bahkan kala itu aku hanya pernah satu kali meminta izin pada orang tuaku agar tidak masuk sekolah hanya karena sedang hujan deras dan waktunya sangat mepet untuk sampai sekolah.

Lalu sekarang, aku bahkan harus menahan rasa sakit untuk tetap masuk kerja agar tidak mendapat potongan gaji. Miris tapi memang begitu kenyataannya.

"Gue masih galau, soalnya bokap gue udah pensiun, dan dikit lagi Gian mau kuliah. Lo tau sendiri gue anak pertama. Walau orang tua nggak pernah ngebebanin gue terkait masalah itu, gue tetap merasa punya andil di sana."

Anak pertama, mana suaranya?

Terdengar dehaman panjang dari Melia. "Lo udah ngomongin ini sama Radika?"

Aku mengangguk pelan. "Selain itu, kerjaan gue tuh udah kayak panggilan jiwa. Walaupun capek, gue punya kesenangan tersendiri."

"Kalau kayak gitu sih emang paling bener lo berdua diskusi lebih dalam. Gue yakin Radika juga udah punya rencana sendiri dan alasan yang baik buat lo tetep stay di rumah aja. Tapi coba lo jalanin dulu aja, siapa tau lo mampu jadi working mom."

Aku terdiam sejenak. Working mom, ya? Mom? Itu artinya aku memiliki anak? Kenapa aku belum kepikiran sampai sana, ya?

"Dah udah! Tidur lo anjir! Tinggal berapa jam lagi ini?" omel Melia tiba-tiba saat sejak tadi aku tak membalas ucapannya.

"Nggak bisa tidur nih gue, Mel ... gimana dong?" ringisku pelan.

"Ih si blegug! Sini pantat lo gue puk-puk!"

***

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang