[8]

712 98 0
                                    

"Ayo masuk ..." ajakku.

"Assalamu'alaikum ..." Radika mengucap salam, ternyata ayah sudah duduk di ruang tamu. Aku menghela napas, bingung nggak karuan.

Ayah pun membalas salam dari Radika. Radika langsung menghampiri ayah dan menyalaminya.

Aduh, maaf-maaf nih, ya. Pacar saja nggak pernah kubawa ke rumah untuk dikenalkan ke orang tua, apalagi calon suami. Jadi mohon maaf kalau aku terkesan lebay karena aku sendiri nggak pernah punya pengalaman seperti ini.

"Duduk, duduk. Tadi siapa namamu?"

Aku melirik ke ayah. Padahal jelas sekali kalau tadi pagi aku menyebut nama Radika, sampai ayah sendiri nyebut 'Radika-mu' padaku berkali-kali.

Memang kadang-kadang orang tua ini suka bikin gondok anaknya.

"Radika, Om," balas Radika dengan nada yang sopan.

"Oooh iya-iya. Radika. Ingat saya." Kemudian ayah menatap ke arahku. "Bikinin minumlah, Sam. Tamu kok dianggurin."

Tanpa disuruh pun, aku pasti akan melakukannya. Namun, aku melirik ke arah Radika sejenak. Pria itu hanya tersenyum tipis, seakan memberikan sinyal bahwa dirinya akan baik-baik saja. Aku jadi nggak tega meninggalkannya sendiri di kandang singa. Kelakuan ayah 'kan susah ditebak. Kadang galak, kadang suka ngelucu tapi nggak ada yang ketawa. Serba salah, 'kan?

Akhirnya, aku bikin satu cangkir kopi untuk ayah dan satu cangkir teh untuk Radika. Aku sengaja hanya memberikan teh untuk Radika, ya aku khawatir saja kalau kopi bakalan membuatnya melek semalaman. Padahal dari raut wajahnya sudah kelihatan cukup lelah dan butuh istirahat.

"Ayah ada tamu malem-malem begini, Sam? Siapa?"

Dan yang kutakutkan dari chapter kedua adalah; mamahku yang muncul secara tiba-tiba.

Aku menghela dengus napas pasrah. "Radika, Mah ..."

"Serius?! Kok nggak bilang-bilang kalau mau ke rumah?!"

"Maaaah ..." Aku berbisik sambil meletakkan telunjuk di depan bibir. "Jangan teriak-teriak kayak lagi kebakaran gitu napa ... Lagian, ini nggak sengaja, tadi Ayah sempet lihat Sam sama Radika di depan rumah. Radika cuma mau nganter Sam balik, gitu aja," jelasku.

"Oooh gitu. Mamah juga mau lihat calon menantu, ah ..." ucapnya yang hendak beranjak dari dapur, tapi aku berusaha untuk menahan lengan mamah.

"Maaah ..." panggilku dengan nada memelas.

"Waeeeeee?" Entah mau sedih atau gimana, bahasa mamah mulai kekoreya-koreyaan. "Masa mau ketemu sama calon menantu sendiri nggak boleh? Mama juga mau lihatlah rupa calon suamimu kayak gimana, ya walaupun seharusnya yang pertama kali dilihat itu agamanya dulu. Intinya, first impression!"

"Tahu darimana mamah tentang first impression?" tanyaku sangsi.

"Dari grup whatsapp ibu-ibu PKK, dong." Aku menghela napas. Capek juga kalau punya orang tua yang baru bergaul dengan teknologi.

"Radikanya jangan dibombardir pertanyaan yang aneh ya, Mah ..." Aku mewanti-wanti.

"Eeeeh, suka-suka Mamah dong."

Mamah pergi meninggalkanku begitu saja dari dapur. Aduh, aku nggak tahu lagi harus berbuat apa selain doa yang bisa kupanjatkan untuk Radika.

Akhirnya, aku membawakan nampan berisi dua cangkir kopi. Ternyata mamah sudah melipir ke ruang tamu, duduk di samping ayah. Setelah aku menaruh cangkir kopi dan teh ke meja, aku pun memilih untuk duduk di samping Radika.

Ya iyalah. Masa aku duduk di lantai sambil nontonin mereka? Memangnya aku babu?

"Diminum dulu, Mas..." Aku melirik ke arah mamah. Sempat terpikirkan olehku kalau mamah memanggil Radika dengan sebutan oppa. Ya Allah ... nggak banget!

"Iya, Tante, terima kasih."

Terjadi per-krik-krik-an di antara kami berempat. Aku sendiri bingung ingin membahas apa. Masa tiba-tiba aku membahas burung tetangga yang baru kabur kemarin?

"Hmm ... mohon maaf Om, Tante, kalau saya mampir terlalu malam ..." Akhirnya Radika membuka pembicaraan. Dia menoleh ke arahku sejenak, seperti meminta persetujuan akan sesuatu, tapi sayangnya aku nggak tahu itu apa. Aku bukan cenayang yang bisa baca pikiran orang. "Begini Om ... Tante ... Saya tahu kalau mungkin sekarang waktunya kurang tepat, tetapi sepertinya Om dan Tante sudah sedikit tahu tentang saya dari Sam. Jadi, saya memberanikan diri ke hadapan Om-Tante untuk mengungkapkan keinginan saya melamar anak Om dan Tante ... Saya minta izin pada Om dan Tante untuk menjadikan Sam istri saya."

"Hmm begitu," ayah membalas dengan nada kalem. "Kenapa kamu ingin menikah dengan anak saya?"

"Yang pertama, saya ingin menyempurnakan setengah agama saya," Radika membalas dengan nada tegas dan meyakinkan, hal itu membuatku sedikit terharu. "Yang kedua, saya merasa bahwa Sam bisa membawa saya menjadi pribadi yang lebih baik lagi ..."

"Berarti anak saya nggak cantik, ya?"

Aku pun melotot ke arah ayah. Apa maksud nih?!

"Terlepas dari itu ... Sam lebih ke arah manis, Om, dan itu mungkin menjadi alasan selanjutnya kenapa saya ingin menikahi anak Om."

"Halah, ngeles aja kamu."

Ayah dan mamah pun saling tertawa. Sedangkan Radika sendiri hanya tersenyum getir. Aku heran. Dari dulu dia nggak pernah berubah dengan sifat blak-blak-annya itu.

Eh ... tapi, berarti aku beneran manis, dong?

Ah, Akika jadi malu.

"Kalau saya tolak lamaran kamu, gimana?"

Aku dan Radika pun sontak menatap ayah berbarengan. Aku nggak pernah membayangkan kalau ayah mengutarakan pertanyaan itu ke Radika. Padahal, tadi pagi bahkan kata ayah semuanya terserah padaku. Tetapi, kenapa tiba-tiba ayah menanyakan hal yang bikin cardiac arrest mendadak?

Mamah pun tampak bingung dengan pertanyaan ayah tersebut.

"Mohon maaf, Om ... Kalau boleh saya tahu, alasan Om menolak lamaran saya apa, ya?"

Ini, nih, sifat Radika yang dari dulu nggak pernah berubah. Selain jujur, dia nggak pernah ciut di hadapan orang-orang. Kalau aku jadi dia, mungkin aku sudah jadi butiran jasjus saking lemasnya mendengar pertanyaan itu.

"Lho, saya nggak menolak lamaran kamu. Saya hanya bertanya."

Radika terdiam sejenak. "Sepertinya saya perlu pendekatan yang lebih pada Om dan Tante agar Om dan Tante mau menyetujui lamaran saya. Namun, terlepas dari itu, semua juga tergantung dari Sam sendiri. Kalau misal Sam memang mau menolak lamaran saya, sepertinya memang saya yang harus mundur perlahan."

"Anak saya mau-mau aja tuh sama kamu," kata ayah blak-blakan, membuatku malu sendiri.

Ih! Kenapa harus bilang begitu di depan Radika, sih?!

Radika pun tersenyum. "Maka dari itu, Om, saya sendiri juga harus memperjuangkan Sam ..."

"Jangan serius-serius dong, Ayah ..." Mamah mencoba mengingatkan. Akhirnya ada yang membelaku juga

"Lho, anak perempuan kita mau dipinang ini, Mah. Kita juga harus tahu calonnya ini bisa menjadi imam yang baik untuk Sam atau enggak."

"Insha Allah, Om ... Insha Allah saya bisa jadi imam yang baik untuk Sam."

[***]

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang