Hari pertama di Lombok, kami memang berencana untuk berleha-leha terlebih dahulu di penginapan. Paling keluar sebentar untuk mengisi perut, bukan keluar untuk jalan-jalan. Biasa, si mageran ini 'kan susah banget kalau diajak beraktivitas fisik yang tinggi. Katanya mau re-charge dulu sebelum jalan-jalan sesuai dengan destinasi yang sudah kucatat sebelumnya.
Dan tahulah ya destinasi impian orang ini?
Apalagi kalau bukan rebahan di kasur?
Sekarang saja aku sudah dijadikan guling bernyawa oleh manusia serba mageran ini.
"Yang, kamu kalau mau punya anak, maunya berapa biji?"
"Lu kata ketumbar biji-bijian?" Kusikut saja perut gembulnya tersebut—yang menandakan bila manusia ini memang sangat sejahtera setelah tinggal bersama denganku. Galak-galak begini juga tetap bisa mengenyangkan perut suami.
Radika pun terkekeh sembari menarik-narik poniku yang sudah melebihi mata. Memang punya suami ajib banget dah suka menyiksa istri.
"Kamu tau nggak?"
"Nggak tau."
Sudah biasa digituin mah sama suami. "'Kan waktu aku kuliah, ya, yang ngisi waktu itu dosen luar. Dia waktu itu nunjuk dan nanya ke aku, mau punya anak berapa. Kamu tau nggak aku jawab berapa?"
"Nggak taulah. 'Kan aku nggak sekampus sama kamu."
"Ish." Memang minta dibotakin alisnya ini orang. "Aku jawab lima, tau."
"EH, HAYUK ATUH BIKIN SEKARANG MAH!"
"WEH! WEH! WEH!" Langsung kupukul tangannya yang mulai masuk ke dalam pakaianku. "Aku nggak ngode, ya, ini cuma ngasih tau doang. Lagian, ini masih sore. Malu kamu sama matahari!"
"Ih, nggak asyik Ayang mah," Radika langsung memberengut, membuatku terkekeh pelan. "Lagian, kenapa kok kamu jawab lima? Banyak amat?"
"Segitu nggak banyak, tau. Mbahku aja punya anak sebelas. Percaya nggak?"
"HAH?" Radika tampak ternganga. "Kok nggak nambah satu lagi biar bisa dijadiin wasit?!"
"Apaan, sih? Receh!" Tapi aku pun tertawa karenanya. "Aku jawab lima soalnya aku merasa di rumah berdua aja sama adikku tuh sepi. Apalagi, sekarang 'kan aku udah nggak tinggal di rumah, kayaknya jadi makin sepi, deh? Iya nggak, sih?"
Spontanitasku saat itu menjawab lima sih memang gara-gara itu. Semakin tua, kayaknya bakalan semakin takut ditinggalin sama anak yang sudah punya kehidupannya masing-masing.
"Cuma ya gitu, setelah aku tau dengan lihat secara langsung gimana proses melahirkan dari yang normal sampe yang sesar ..." Aku mulai bergidik ngeri. "Kayaknya mending punya satu atau maksimal dua aja, deh. Hehehe. Kecuali kalau kamu yang mau hamil, aku mah sebelas anak juga ayo aja."
"Ya udah ayo makanya bikin! Mumpung suasananya mendukung, nih!" Radika meremas pinggangku.
Aku pun melirik sinis padanya. Sampai saat ini sih aku dan dirinya memang sudah tidak lagi membicarakan tentang anak, kecuali hari ini. Tentu saja, keinginan untuk memiliki anak juga memerlukan beberapa persiapan yang matang. Pertama; mental, kedua; tentu saja yang paling penting yaitu finansial.
Kalau kata orang dulu; setiap anak memiliki rezekinya masing-masing.
Ya iya, sih. Cuma 'kan ya tetap dibutuhkan kestabilan secara finansial untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Nggak mungkin 'kan melahirkan seorang anak tanpa memikirkan finansial yang dibutuhkan dengan menunggu turunnya rezeki? Aku bukannya skeptis, tapi ya perlu dilihat juga secara realistis.
Walaupun Radika tidak pernah mengungkit tentang hal itu lagi, diam-diam dengan jiwa mendetailku, bahkan aku merinci setiap biaya yang mungkin dibutuhkan baik sebelum persalinan hingga anakku masuk ke sekolah dasar. Memang terkesan perhitungan, tapi kalau ternyata tidak seimbang dengan pengeluaranku bersama Radika, gimana?
"Katanya tadi capek?"
"Ah, yang beginian mah Abang nggak capek. Yah yah?"
Aku pun berdecih. "Ya dah terserah."
"Beneran nih, ya?" Radika langsung terlihat antusias begitu. "Aku nggak pakai pengaman nih, ya?"
Aku pun terdiam sejenak. Aku tahu, sebenarnya Radika sudah menginginkannya sejak lama, dan itu terhambat tentu saja karena idealismeku. Namun, karena secara mental aku sudah siap, serta finansial kami berdua pun terhitung-hitung sudah mumpuni, aku pun hanya membalas dengan tersenyum padanya.
"Senyum-senyum gini artinya apaan nih Bund?!"
Aku langsung berdecak. Memang ngerusak suasana banget ini orang. "Ada gitu senyam-senyum yang artinya 'NGGAAAAK' atau 'NGGAK BOLEEEH' atau 'NGGAK MAUUU'?!"
Radika terkekeh dan mengecup bibirku dengan cepat. "Siapa tau, 'kan orang tsundere sukanya begitu. Kelakuan sama perkataannya suka beda."
Ya dah, terserah, Rad. Terserah.
[***]
KAMU SEDANG MEMBACA
UNEXPECTED [✔]
RomanceSetelah delapan tahun tidak pernah lagi berjumpa, nyatanya hatiku masih berdebar pada pria yang sama.