[33]

413 43 0
                                    

Dalam satu bulan sekali, pasti ada hari di mana aku letargi. Yang dimaksud dengan letargi adalah keadaan di mana tubuh merasa lelah, lesu, lunglai, tak ada tenaga; yang intinya adalah mageran banget. Nggak mau ngapa-ngapain, kayak orang depresi; tapi tentu saja aku masih waras, kok. Dan untungnya, ini lagi hari libur, jadi aku nggak kelihatan terpaksa banget kalau misalnya lagi kerja.

"Yang? Nggak masak?"

"Nggak. Mager. Pesen lewat gofood aja," balasku tanpa sedikit pun membuka mata. Padahal, aku sudah bangun sedari tadi, tapi bergerak dari kasur pun rasanya malas banget.

"Kamu mau pesen apa?"

"Hm."

"Hm?"

"Hm."

"Apa sih kok ham hem ham hem mulu dari tadi?" Kudengar Radika berdecak.

"Radika's day."

Akhirnya, dia ber-oh panjang, sudah paham bila kusebutkan hal itu. Yap. Hari-hari seperti ini kusebut sebagai harinya Radika, karena sekarang aku sedang menjelma seperti Radika yang super mageran. Bedanya, dia mager setiap saat, tapi kalau aku cuma hari-hari tertentu saja. Makanya kusebut sebagai Radika's day.

"Geprek ya?"

Untung Radika orangnya sabaran. Kalau mertuaku tahu aku seperti ini, pasti aku bakal kena omelan, walau sebenarnya lebih galakan mamahku. Yah, tapi, itulah untungnya tinggal di rumah sendiri. Mau sebaik apa pun mertua, tetap enak tinggal berdua dengan suami, 'kan?

"Lima belas."

"HAH? LIMA BELAS AYAM?!"

Radika sudah berteriak heboh, sedangkan aku hanya bisa berdecak. Malas juga banyak bicara, apalagi balas histeris. Energiku banyak terkuras hanya dengan menghadapi Radika yang anehnya lagi kebanyakan stok stamina itu.

"Levelnya, bukan ayamnya."

"Ih itu bukannya level yang paling tinggi ya?"

Yah, sabar sih memang sabar. Tapi orang ini demen banget bikin aku darah tinggi. Nggak perlu deh makan garam sama micin yang banyak, cuma perlu menghadapi orang macam Radika saja, paling sistole dan diastolenya naik mencapai 20 hingga 30 mmHg.

Sudah tahu aku ini lagi di fase Radika's day, dia masih saja mengajakku debat tak jelas.

"Hm."

"Nggak. Aku pesenin level tiga aja."

"Lima belas."

"Tiga!"

Sudah tahu aku pecinta pedas. Kalau level tiga mah, nggak ada rasanya sama sekali. Mulut sama perutku tuh butuh sensasi.

Aku berdecak kesal, malas membalas lagi.

"Kamu tuh kalau dibilangin nurut sama suami. Kalau mencret, aku nggak mau tanggung jawab ya. Lagi mageran 'kan kamu? Gih sana nanti beli obatnya sendiri. Nggak mau beliin aku mah."

Nah, 'kan, mulai dah tuh ceramah panjang lebarnya. Mana memang sepertinya obat itu sudah tidak ada di kotak P3K lagi, mau nggak mau aku harus keluar membelinya atau meminta tolong pada Radika; yang jelas-jelas dari awal sudah mengancamku untuk tidak membelikannya.

"Ya udah, aku tidur di kamar mandi aja, biar nggak ribet."

Nah, nggak tahu dah ini mulut ngelantur. Malas debat sebenarnya. Dan aku tahu Radika nggak akan memesankan aku ayam geprek level yang kuinginkan. Jadi, ya sudahlah, pasrah saja. Bahkan nanti kayaknya buat mengunyah saja aku juga mager. Jadi, ya siap-siap saja lambung terus kosong sampai sore. Tidur menjadi prioritasku dibandingkan makan.

Aku sudah tak lagi mendengar Radika yang menggerutu di belakangku. Senyap begitu saja seakan pria itu sudah keluar dari kamar. Sebenarnya, aku tak menganggap konversasi kami sebagai berantem, sih. Toh, setiap hari kami berdua memang sering adu bacot. Jadi, ya biasa saja.

Namun, tiba-tiba saja aku merasakan kasur sedikit terpantul di arah belakang.

"Nih, minum dulu air madu biar ada energinya."

Aku memang nggak mau bangun, tapi Radika sudah meraih punggungku dan memaksaku untuk terduduk. Duh, memang hari ini tuh macam aku yang kayak lagi penyakitan.

"Punya bini kok mageran."

Aku pun berdecak. "Ngaca ya Anda, wahai manusia yang mager setiap hari."

"Aku mager tapi masih produktif, Yang. Emangnya kamu?"

Hm. Oke. Aku sudah malas debat. Aku tahu banget Radika sengaja sekali untuk memancingku, makanya aku diam saja dan meminum air madu yang dibawa olehnya. Memang laknat banget ini laki orang.

Yah, tapi begitu-begitu, dia masih perhatian dengan membuatkanku minuman madu. Walaupun kesannya tetap menyebalkan.

"Kamu beliin yang level 15, 'kan?"

"Nggak perlulah beli yang level 15 segala," katanya dengan raut wajah yang skeptis. "Hidup sama kamu aja udah berasa makan geprek level 30, pedesnya dua kali lipat."

"Ish!"

Entah dari mana aku mendapatkan tenaga, tanganku refleks memukul lengannya hingga pria itu mengaduh. Menyebalkan sekali mulutnya itu.

"Aku aduin mamah nih anaknya KDRT mulu!"

"Idih?" Aku pun mendelik. Bisa-bisanya dia berkelakuan macam bocil yang suka dipakein bedak tabur di wajah setelah dimandiin sama emaknya.

"Awas tuh mata nanti copot, jangan melotot mulu makanya," Radika memperingati. Sudah kubilang, 'kan? Dia pasti memiliki bahan apa saja untuk meledekku yang sedang tidak memiliki banyak energi ini; alias memancing kyubi naruto dalam jiwaku.

[***]

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang