[29]

547 68 1
                                    

Aku berdesis sebal, mesumnya mulai kelihatan lagi. "Terus, abis kamu lihat aku di kantin, kenapa nggak disamperin?"

"Ya habis waktu itu kalau nggak salah si Jiya sama Fika nyamperin kamu nggak, sih? Aku perhatiin kalian malah keasyikan makan sambil ngobrol. Ya udah, daripada aku ganggu mood kamu, jadinya nggak aku samperin."

"Hish," aku menggeser tubuh dab menghadap ke arah langit kamar sembari bersedekap. "Nggak gentle dasar."

Radika malah terkekeh, lalu mengambil kesempatan untuk kembali memelukku. "Terus kenapa tiba-tiba kita bisa baikan, ya? Aku kok lupa?"

Aku melirik tajam ke arah Radika melalui sudut mataku. "Kamu tuh yang tiba-tiba nanya ke aku di depan kelas pake teriak-teriak segala! Aku 'kan kaget. Padahal kamu sama aku lagi puasa ngomong satu sama lain."

Aku masih ingat banget bagaimana tampang Radika saat tiba-tiba saja dia bertanya mengenai soal Biologi padaku, sampai membuat kelas hening seketika dan beberapa di antaranya menoleh ke arah kami berdua. Padahal, posisiku dengan Radika lumayan jauh; aku sedang duduk di kursi belakang sedangkan Radika berada di area depan kelas.

Seharusnya, dia bisa saja 'kan menanyakan hal tersebut pada orang-orang yang berada di sekitarnya? Kenapa harus padaku yang jelas-jelas jauh dari jangkauannya?

Pokoknya, 'blablablabla, iya kan, Sam?!'

Sambil merasa kebingungan, aku mah iya-iya saja. Terus ... ya sudah, habis itu kita kembali seperti semula, seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

"Hehehe. Iya, maaf. Abis aku bingung gimana caranya ngedeketin kamu lagi. Awalnya juga kamu 'kan yang ikut-ikutan ngerespons pas aku ngejahilin Melia? Nah, dari situ ya udah, aku beraniin diri aja buat yah ... sepik-sepik dikit, lah."

Aku mencibir. Memang, sih. Aku tahu banget kalau Radika ini harga dirinya tinggi banget, aku pun juga begitu. Tapi ya sudahlah, waktu itu juga alasan kami saling mendiami juga tidak penting-penting amat.

"Sayang," Radika memainkan rambutku dengan jemarinya. "Kamu inget nggak sih pas yang pelajaran matematika tapi gurunya nggak bisa masuk? Temen-temen di kelas pada berisik tapi kamu malah ngerjain LKS matematika sendiri."

Aku mencoba mengingat-ingat. "Yang mana, ya?"

"Itu lho, yang aku nyamperin kamu, nakut-nakutin kamu dengan bilang ada yang nempel di badan kamu."

Aku refleks memukul dada Radika. "Ish! Iya! Inget aku itu!"

Pada saat aku sedang mengerjakan soal-soal matematika, tiba-tiba saja terdengar decitan bangku yang menggesek lantai tepat di sampingku; membuatku refleks menoleh dan menemukan Radika duduk dengan cengiran jahil khas pria itu.

Sial. Yang menjadi masalah adalah posisinya saat ini aku duduk di pojok; di mana aku tidak memiliki akses untuk keluar sama sekali jika pria itu tidak beranjak dari tempat duduknya.

"Mau ngapain lo?!" tanyaku dengan nada judes. Ya bayangkan saja ... ngapain coba dia duduk di sampingku tiba-tiba sambil tertawa aneh kayak gitu?

"Lo ngerasain hawa-hawa panas nggak sih, Sam?"

"Hah? Apaan, sih? Nggak usah ngaco deh, lo."

"Pundak lo nggak pegel emang?"

"Enggak ..." balasku dengan nada gamang.

Namun, entah karena sugesti atau memang ada sesuatu, pundakku terasa lebih berat dari biasanya. Tanpa ragu, aku pun langsung mendorong kaki kursinya sebagai upaya pengusiran.

"Ih, lo mah! Jangan nakut-nakutin kenapa! Pergi lo sana!"

Radika kembali menarik kursinya yang bahkan sudah kutendang sekuat tenaga. Tapi dengan kekehan menyebalkannya, pria itu kembali menggeser kursi dan menempatkannya pada posisi semula.

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang