Radika menarik kedua sudut bibirnya dengan lebar, membuatku dirundung perasaan bersalah sebab telah membuatnya menunggu kesiapanku untuk berhubungan lebih jauh.
Kalau boleh jujur, sebetulnya saat ini aku masih merasa takut, maksudku mengenai rasa sakit yang mungkin akan kualami selama proses berhubungan nanti. Hanya saja ... bukankah aku berdosa jika menolak keinginan suamiku?
Kedua tangan Radika memenjarai wajahku, yang membuatku mau tidak mau beradu pandangan dengannya. Pancaran netranya terlihat berbinar, hingga aku pun tak tega untuk terus-menerus menolak permintaannya. Di sisi lain ... sebenarnya aku juga penasaran.
Kelopak mataku refleks menutup tatkala Radika mendekatkan wajahnya untuk menyatukan kening kami berdua, lalu berlanjut dengan pucuk hidung hingga dapat kurasakan embusan napas pria di hadapanku yang terasa cukup menggelitik wajah.
Kegugupan mulai menyelimuti diri tatkala kurasakan kecupan di kening, lalu berpindah pada pucuk hidung dan pipi. Setiap inci wajahku mendapatkan kecupan yang menenangkan, hingga pada akhirnya aku pun kembali membuka kelopak mata.
"Cantik banget sih kamu," pujinya yang dapat membuat efek kupu-kupu beterbangan di perutku.
"Jadi selama ini nggak cantik?"
Dengan wajah yang berusaha tampak terlihat tenang, sebenarnya aku sedang mencoba untuk mengontrol detak jantungku yang mulai bertalu tak beraturan.
Radika terkekeh pelan. "Makin cantik pas kamu udah jadi punyaku."
Refleks, aku mendorong tubuhnya, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku bukannya ngambek, tapi kenapa harus berbicara seperti itu sih?! Nggak tahu apa ini jantung rasanya mau meledak?
Rasanya aku seperti sedang bukan berhadapan dengan Radika versi zaman sekolah; yang kaku, judes, dan galak terhadap perempuan. Tapi, apa ini? Kenapa ada sisi lain yang tidak pernah kuduga bisa dimiliki oleh pria berparas garang ini?
"Kamu cantik, Samara. Dari dulu selalu cantik," lanjutnya sembari memainkan rambutku dan mengaitkannya di belakang telinga. "Makasih ya udah mau jadi istri aku."
Rasanya bibirku bak terkunci rapat; tak bisa untuk sekadar membalas ucapannya. Kelopak mataku pun refleks tertutup tatkala Radika kembali memajukan wajahnya; memberikan kecupan yang panjang pada bibirku. Dadaku berdebar hebat di saat bibirnya mulai bergerak; menggoda biraiku agar ikut bermain dalam alurnya. Tempo yang diberikan pria itu cukup pelan, sepertinya dia tahu bahwa aku tidak ingin buru-buru, bahkan sampai saat ini aku masih belum berani untuk terlalu aktif bermain bersamanya.
"Biasanya juga ini bibir nyerocos mulu, kok sekarang diem aja sih kayak nggak ada nyawanya?" bisiknya dengan nada menggoda tepat di depan bibirku.
Sebal sekali mendengar kekehannya itu. Refleks, kugigit bibirnya hingga pria itu mengaduh kesakitan. Tapi sebenarnya mah dia lebay, wong aku gigitnya nggak beneran gigit banget kok.
"Ganas banget sih, Sayang. Kalau diganasin balik marah nggak?"
"Nggak jadi, nih! Nggak jadi!" ancamku.
"Eh iya, bercanda! Bercanda!" Radika tampak panik, hingga aku harus menahan tawa. "Maksud aku tuh kamu jangan tegang banget. Rileks dikit atuh, Sayang ..."
"Iya, iya ..." Radika tampak tersenyum saat mendengar sahutanku.
Dengan kilat, pria itu menyambar bibirku, kendati hanya sekadar mengecup. Selanjutnya, Radika kembali menyesap biraiku. Sesekali, lidahnya juga ikut bermain, menggoda ujung saraf bibirku yang sepertinya mulai menghantarkan impuls untuk ikut bermain juga.
Dapat kurasakan Radika yang mengangkat sudut bibirnya tatkala aku mulai mengikuti alur permainan pria itu. Aku mulai bisa mengikuti temponya yang dirasa semakin cepat dan semakin menuntut. Aku dibuat berjengit saat tiba-tiba merasakan lidahnya yang bermain di arena mulutku. Salah satu tangannya berpindah menuju punggungku, mengelusnya pelan agar aku tetap merasa rileks.
Lalu, tangannya berpindah untuk menggenggam tanganku, membawanya menuju pundak sebagai gestur agar aku mengalungkan kedua lenganku pada lehernya. Pagutan kami pun semakin intens saat Radika menarik pinggangku untuk merapat padanya; mengikis jarak di antara kami berdua.
Tanpa terasa, aku sudah berbaring dengan Radika yang mencoba menahan tubuhnya tepat di atasku. Salah satu tangannya mulai menyelusup ke dalam piyamaku, menggelitik pelan mulai dari perut hingga menjalar menuju punggung, mencari sesuatu yang mengaitkan kedua bukit kembarku.
Kait itu terlepas, dan kedua tangan Radika mulai aktif bermain di dalam piyamaku. Sesekali, punggungku melengkung, merasakan kesensitifan saat Radika menyentuh milikku.
Malam penuh lenguhan memenuhi ruangan. Bibir Radika berpindah menuju leherku, mengisap dengan gemas dan sesekali menggigit kulit sensitifku. Tangannya sudah mulai berani ke mana-mana. Hingga tanpa terasa, kulit kami saling bersentuhan; tanpa pembatas apa pun; menciptakan impuls kenikmatan yang hakiki.
Radika berbisik tepat di telingaku. "Kamu cantik, pakai banget. Dan jutek. Dari dulu. Tapi aku suka."
Aku menggeliat geli saat Radika mengulum telingaku. Semuanya serba baru bagiku, dan bagi Radika juga. Namun aku bahkan terlalu malu hanya untuk menatap balik pria yang masih setia berada di posisi atas tubuhku.
Sesaat, Radika berhenti. Dia menyejajarkan wajahnya tepat di hadapanku. "Buka mata kamu, Sayang." Aku menggeleng cepat, membuat Radika terkekeh pelan. "Kamu malu, ya?"
"Kok ketawa sih!" Aku memukul dadanya yang bidang saat mendengar kekehannya yang menyebalkan itu. Refleks, kubawa kedua tanganku untuk menutupi wajah. Kenapa sih dia jahil banget?!
"Pipinya merah terus. Keturunan udang ya Mbaknya?"
"Ish!"
"Awas itu tangannya. Wajah cantik kamu hilang masa," goda Radika lagi masih sambil terkekeh. "Aku maunya lihat wajah kamu. Apa boleh lihat yang ke lainnya, hm?"
"Nooo!"
Kurasakan kecupan pada tangan yang masih setia menutupi wajahku, seakan pria it sedang meminta izin agar aku menyingkirkan kedua tanganku; sehingga dengan leluasa ia dapat memandangi wajahku yang sudah semerah buah tomat busuk ini.
Perlahan, kedua tanganku kuturunkan menuju dadaku, mencoba menetralisir detak jantung yang berpacu melebihi batas. Aku pun memberanikan diri untuk menatapnya yang kini tersenyum lebar ke arahku.
"You ready? May I?"
Aku meneguk ludah. Perlahan, aku mengangguk. Jujur saja aku takut. Lagi pula, siapa yang tidak takut? Banyak orang bilang, itu sakit. Belum lagi besok paginya juga masih akan terasa sakit.
"Love you, Samara."
Aku menekan keras bahu Radika saat pusat tubuhnya mulai masuk ke dalam nirwanaku. Benar ... itu terasa perih. Bahkan air mata tanpa seizinku keluar.
"S-sakit?" Radika bertanya dengan nada panik. "Mau berhenti aja?"
Aku menggeleng. Namun dengan tidak tahu malunya, aku justru mengatakan, "Lanjut aja..."
Radika terkekeh. Aku sudah tidak tahu lagi di mana wajahku berada. Benar-benar. Aku sudah tidak berani lagi menatap Radika.
"Kalau sakit, bilang ya? Aku nggak mau kamu nggak nyaman."
Aku hanya mengangguk, tidak pula memberikan penolakan dan tetap membiarkan pria itu untuk melanjutkan permainannya.
[***]
KAMU SEDANG MEMBACA
UNEXPECTED [✔]
RomanceSetelah delapan tahun tidak pernah lagi berjumpa, nyatanya hatiku masih berdebar pada pria yang sama.