[15]

593 79 3
                                    

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Aku dan Radika bahkan sudah melewati rangkaian premarital check up, dengan hasil yang untungnya kami berdua sama-sama dalam kondisi baik dan juga sehat.

Hari ini pun aku dan Radika memiliki janji untuk mengurus tetek bengek mengenai lamaran. Destinasi pertama kami adalah mengunjungi toko perhiasan, alias membeli cincin.

Sesampainya di sana, aku langsung menyambangi etalase dan melihat cincin yang terpampang. Sejujurnya aku kurang terlalu suka memakai perhiasan, kecuali jam tangan. Apalagi setiap harinya aku berhubungan langsung dengan pasien, otomatis memang terdapat larangan untuk menggunakan perhiasan, terutama di tangan.

"Boleh saya bantu, Mbak?"

Salah satu pegawai menghampiriku, sepertinya dia tahu kalau aku sedang kebingungan.

"Ada rekomendasi cincin tunangan yang sederhana nggak, ya? Nggak perlu ada permatanya gitu, Mbak," pintaku.

"Oh ada, sebentar ya, Mbak."

Aku hanya mengangguk sembari melihat-lihat kembali cincin di etalase. Tiba-tiba saja Radika melipir mendekat ke arahku.

"Batu akik beneran bisa nyembuhin penyakit nggak sih, Sam?"

Aku mendelik. "Mana ada yang kayak begitu."

"Tuh bokap gue kemarin beli batu akik, jadi dipasang kayak jam tangan gitu. Katanya bisa nyembuhin rematik. Udah gue bilangin nggak bakalan bisa tapi orangnya ngeyel," gerutu pria itu, membuatku terkekeh pelan.

"Namanya juga orang tua."

"Ah dia mah sama batu ponari juga percaya."

Aku hanya bisa menggeleng pelan sembari menahan tawa.

Tak lama, pegawai tadi pun kembali menghampiri. Dia membawa beberapa pasang cincin sesuai dengan kriteria yang kuinginkan.

"Itu nggak kepolosan?" celetuk Radika saat aku mengambil salah satu cincin yang hendak kupasangkan ke jari manis.

"Tapi gue maunya yang kayak begini. Ini bagus, kok," balasku.

"Bisa request ukir nama kok, Mas, Mbak, biar kesannya nggak terlalu polos banget," ujar pegawai itu.

"Boleh tuh," jawab Radika. "Tapi nama kita 'kan kepanjangan, ya? Mana sama-sama tiga suku kata lagi."

"Pakai inisial aja," usulku.

"RS gitu? Eh? Lah jadi Rumah Sakit, dong?"

Pegawai itu tertawa. Inisial nama kami ternyata memang kurang elit.

"Kalau boleh tahu, nama Mbak sama Masnya siapa? Mungkin bisa saya bantu kasih ide nama singkatan," aku dan Radika menoleh bersamaan menuju ke arah si pegawai.

"Radika dan Samara, Mbak."

Pegawai itu berpikir sejenak. "Gimana kalau RaSa?"

Aku langsung menggeleng. Agak gimana gitu ya saat mendengar singkatan nama tersebut.

"Ih kenapa?" Radika tampak protes. "Lucu tahu usulan dari Mbaknya."

"Inisial aja udah, pakai SR, gitu."

"SR skala richter?" sauut pria itu yang lagi-lagi membuat mbak-mbak pegawai tertawa. "Udah paling bener pakai nama rasa."

Sebenarnya aku merasa geli saat mendengar nama itu. Tapi dibanding dengan inisial dua tadi, sepertinya memang nama itu lebih baik. Toh namanya diukir di dalam cincin, jadi tak akan terlalu kelihatan.

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang