[4]

976 101 1
                                    

Radika tersenyum pias. "Maaf ya, Sam..."

"..."

Kenapa dia meminta maaf? Apa ada yang salah? Atau jangan-jangan .... dia tidak ingin meneruskan niatnya padaku?

"Maaf kalau hari ini gue cuma bisa nganter lo sampai depan rumah aja. Lain kali, gue bakal nganter lo sampai dalam rumah, sekaligus buat ketemu sama orang tua lo."

Tanpa sadar aku mengembuskan napas penuh kelegaan. Pikiran negatifku pun langsung melayang jauh saat mendengar penjelasannya tersebut.

"Hmm ... iya. Hati-hati di jalan, ya. Kabarin kalau udah sampai."

"Udah sampai, kok."

Kernyitan tercipta di dahiku. "Hah?"

"Sampai di hatimuuu. Hahaha."

Tanganku refleks memukul lengannya. "Pulang, sana! Pulang!"

Radika masih terus saja tertawa. "Duh, galaknya kambuh. Ya udah. Aku pulang, ya?" Pun pria itu kembali menyalakan mesin motornya. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Setelah melihat kepergian Radika, aku pun masuk ke dalam rumah dengan langkah yang ringan. Suasana rumah saat ini lumayan sepi. Tidak heran kalau jam segini biasanya orang-orang di rumah sudah beristirahat semua.

"Masuk rumah bukannya salam dulu."

Aku berjengit kaget saat mengetahui Gian; adikku, yang asyik dengan ponselnya di ruang televisi, gelap-gelapan pula. Kupikir semua orang sudah di kamarnya masing-masing.

"Kok belum tidur, Gi?"

"Belum ngantuk, Mbak," balasnya tanpa melihatku sedikit pun. Dasar adik kurang ajar.

"Emangnya besok nggak sekolah?"

"Ada classmeeting." Aku ber-oh ria, berjalan menuju tangga untuk ke kamarku. "Mbak, kok tadi akrab banget sama JOJEK-nya? Temen Mbak?"

"Hah?"

"Iya, yang tadi."

"Ah ... iya. Itu temen."

Iyain saja dulu, aku lagi malas menjelaskan. Harusnya, orang pertama yang mengetahui ini adalah mama atau ayah. Tapi bahkan sekarang saja aku masih merahasiakannya dari orang tuaku.

"Oooh. Temen toh."

Bentar lagi jadi kakak iparmu, Gi. Hahaha.

[***]

Semalam aku shalat istikharah, mempertanyakan apakah Radika memang jodoh sehidup semati denganku, walau dalam hati dengan lamaran sekali ucap pun, aku bakalan menerimanya. Hanya saja, Allah itu Maha membolak-balikkan hati. Siapa juga yang tahu kalau ternyata perasaanku sekarang ini hanya permainan setan semata?

Pagi ini pun aku memutuskan untuk berbicara dengan mamah. Dia orang pertama yang harus tahu tentang hal ini.

"Mah," panggilku ketika beliau berada di dapur, menyiapkan sarapan.

"Tumben udah bangun kamu, biasanya masih ngebo," jawab mamah tanpa mengindahkan kehadiranku di belakangnya.

Aku menggerutu sebal. "Yah, Mamah mah gitu. Aku mau ngomong serius, nih."

"Opo? Opo? Opo?" Mamah memajukan wajahnya.

"Tapi Mamah janji jangan teriak heboh, nanti Ayah denger."

Mamah menyipitkan matanya. "Kamu mau berhenti kerja?"

Lagi-lagi aku mendengus. "Bukan, iiiih. Dengerin dulu makanya, jangan main dipotong aja ish."

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang