[25]

619 68 6
                                    

Kubalut kepala menggunakan handuk kecil agar tetesannya tidak membasahi baju. Tentu saja rasa kantuk langsung meluruh, digantikan dengan rasa segar pada tubuh seakan lelahku ikut terangkat.

Dengan hati-hati, aku membuka tuas pintu kamar mandi agar tidak mengganggu Radika yang mungkin saja sudah tertidur. Namun ternyata pria itu masih memainkan ponselnya walau dalam posisi terlentang di atas ranjang.

 "Udah kelar?" tanya Radika yang tengah mengalihkan pandangannya ke arahku.

Aku mengangguk sekilas lalu berjalan ke meja hias dan mengambil hair dryer. Sebenarnya aku ingin langsung rebahan. Namun karena rambutku masih basah, aku harus mengeringkannya terlebih dahulu.

"Mau dibantuin?"

Aku terkesiap saat tiba-tiba saja Radika sudah berdiri di belakangku, menawarkan diri untuk mengeringkan rambutku.

"Hm ... boleh," jawabku canggung.

Dengan gerakan luwes, Radika mengambil alih hair dryer dan menyalakannya sembari menarik-narik rambutku dengan gerakan pelan. Perlakuannya tersebut membuat salah satu alisku menukik.

"Lo udah sering, ya?"

Tanpa terganggu dengan nada yang kulontarkan, Radika terus saja asyik mengeringkan rambutku. Bahkan pria itu hanya berdeham sebagai balasan, memilih untuk fokus dengan rambutku yang masih basah ini.

"Sering apa?"

"Ya ini," aku berusaha menatap Radika dari cermin, "ngeringin rambut orang."

Spontan, tatapan kami pun bertemu dalam bias cermin. Senyum tengilnya tiba-tiba saja tercetak di wajahnya.

"Kenapa? Cemburu ya?"

Saat melihat raut wajahnya yang menyebalkan itu, langsung saja aku melengoskan pandangan ke arah lain. "Apa-apa dikaitin sama cemburu mulu," cibirku.

"Lha, terus kalau bukan cemburu, namanya apa? Jealous?" Bola mataku refleks berotasi, sedangkan Radika hanya tertawa saja saat melihat responsku. "Iya, sering kok. Sering banget malah," lanjut pria itu masih dengan mencetak senyum di wajahnya; seakan kalimatnya itu tak memiliki arti yang lebih.

Aku pun terdiam sejenak, kemudian menghela napas dengan pelan. Salahku juga kali ya yang berusaha memancing Radika dengan pertanyaan itu? Lagian, dia memang terlihat lihai banget sih saat menggunakan hair dryer! Gimana aku nggak curiga?

"Sama kucing tapi, hehe," lanjutnya lagi yang membuatku langsung kembali melirik ke arahnya.

"Hah?"

"Iya. Gue 'kan punya kucing di rumah; kucing anggora. Bulunya 'kan tebel, makanya tiap dimandiin wajib pake hair dryer."

Huuuh! Hampir saja nanti malam aku ingin memunggunginya saja saat tidur. Mendengar penjelasannya itu membuatku lega.

Eh, tapi ...

"Kucingnya di rumah ibu apa di rumah lo?"

"Kenapa? Ah ... ya. Lo takut kucing ya?"

Aku mengerutkan kening. Seingatku, aku nggak pernah menceritakan ketakutanku dengan kucing pada Radika. Tetapi mungkin dulu dia pernah melihatku selalu bergerak cepat menjauhi kucing saat tiba-tiba ada kucing yang lewat di sekitarku.

Aku pun mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.

"Kucingnya nggak galak kok, paling cuma dicakar sama digigit aja."

"Ganas itu namanya!"

Bukan apa-apa. Sebenarnya aku bukan merasa jijik atau gimana, aku hanya punya trauma dengan kucing di masa lalu. Walaupun sebenarnya sekarang nggak terlalu semenakutkan seperti dulu, tetapi entah kenapa tubuhku selalu menjauh dengan sendirinya kalau ada kucing di sekitarku.

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang