"Udah lama?"
"Lumayan, Mah."
Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 9 lewat 15 menit, dan Radika masih belum terbangun juga. Mama dan ayah baru saja balik dari acara kondangan. Sebelumnya, aku juga sudah meminta izin pada ayah maupun mama terkait Radika yang sakit. Lagi pula mereka juga nggak tega membiarkan Radika pulang sendirian dalam keadaan sakit seperti itu.
"Ya udah, biarin nginep aja sampai besok," kata ayah. "Asal nanti malem kamu jangan masuk buat nyerang calon suamimu."
"Ih! Ayah!"
[***]
Aku terbangun saat adzan subuh berkumandang. Hal pertama yang kuingat adalah bahwa Radika masih di rumahku. Namun kuurungkan niatku untuk turun ke bawah karena aku harus menunaikan shalat subuh terlebih dahulu. Baru setelah itu aku mengecek keadaan Radika di bawah.
Selesai menunaikan ibadah, aku segera ke bawah, memeriksa keadaan Radika. Kulihat pintu kamar tamu terbuka, namun ketika aku masuk ke dalam, Radika sudah nggak ada, bahkan seprainya pun sudah rapi.
Aku berjalan menuju dapur, di mana seperti biasa; mama sedang memasak untuk sarapan.
"Radika balik, Mah? Kok nggak bilang ke Sam, sih?"
"Assalamu'alaikum ..."
Aku dan mama langsung menoleh ke arah sumber suara, itu ayah. Aku pun langsung menghampirinya, dan ternyata Radika berjalan membuntuti ayah dari belakang. Kulihat ayah berbaju koko, memakai sarung, dan lengkap dengan peci di kepalanya. Sedangkan Radika masih memakai baju yang kemarin ditambah dengan sarung yang kuyakini itu milik ayah.
"Dari masjid?"
"Iyalah," jawab ayah. "Udah shalat belum kamu?"
"Ya udah, dong."
"Belum mandi tapi, 'kan? Hahaha."
Iiiiish! Sudah tahu di belakang ada Radika, masa mau bikin malu anaknya sendiri, sih?
Harusnya aku nggak usah heran dengan kelakuan ayah.
Ayah berjalan meninggalkan kami berdua. Aku menghampiri Radika dan membawanya ke ruang tamu. "Berdua doang sama Ayah ke masjid?"
Radika menggeleng. "Tadi sama Gian, cuma dia udah pulang duluan."
"Bangun jam berapa tadi? Kok nggak telepon gue?"
"Hape gue mati, nggak bawa charger juga. Tadi kebangun jam tigaan. Pules banget, Sam. Enak sih, sekarang udah segeran. Tapi kenapa gue nggak dibangunin buat shalat maghrib sih, Neng? Jadi nggak shalat 'kan ..."
"Ya maap. Abis lo tidurnya pules banget, nggak berani ganggu. Tapi nggak papa, sih. Nggak sengaja juga, 'kan." Radika mengangguk. "Sekarang udah enakan, 'kan?"
"Thanks to you," Radika tersenyum tipis. "Hm ... Sam? Gue kayaknya mau pamit pulang," bisik pria itu. "Nggak enak kalau lama-lama di sini, apalagi gue nggak sengaja nginep lagi."
"Nggak enak di mananya toh, Dik?" Ayah muncul sambil membawa segelas kopi yang masih mengepulkan asap tipis di tepi gelasnya. "Wong kamu tidur pules gitu, mesti wenak, toh?"
Radika menyengir bersalah. Aku mencoba untuk membantu. "Namanya juga orang sakit, Yah. Secara fisiologis kan--"
"Dah, dah. Ayah nggak mau dengar kultum kedokteranmu," potong ayah. "Sarapan dulu, Dik. Mamanya Sam udah siapin porsi lebih. Baru kamu bisa pulang."
Radika melirik ke arahku, kubalas dengan arti tatapan udah-manut-aja padanya. Akhirnya, dia hanya menyengir dan mengangguk ke arah ayah.
"Sam, bantuin Mama sana, Dika nggak perlu ditemenin," kata ayah yang membuatku langsung menoleh ke arah Radika. Radika malah mengangguk-angguk saja, sama sepertiku tadi yang mengirimkan sinyal untuk menuruti kata ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNEXPECTED [✔]
RomanceSetelah delapan tahun tidak pernah lagi berjumpa, nyatanya hatiku masih berdebar pada pria yang sama.