Hawa dingin yang menyengat kulit membuat kelopak mataku perlahan terbuka. Namun di sisi lain, aku masih dapat merasakan kehangatan yang melingkupi punggungku. Butuh waktu untuk tersadar bahwa Radika tengah memelukku erat dari belakang. Salah satu tangannya melingkari perutku. Sepertinya pria itu masih tertidur, sebab embusan napasnya yang menggelitik leherku tampak berirama dengan tenang.
Perlahan, tanpa mau mencoba membangunkannya, aku berusaha untuk menyingkirkan tangan Radika. Ini memang masih jam empat pagi; belum subuh. Jadi aku ingin membersihkan tubuhku sebelum adzan tiba.
"Awh ..." ringisku saat aku beranjak dari ranjang.
Ternyata benar, sakitnya masih terasa sampai sekarang. Semaksimal mungkin aku tidak menciptakan suara tapak langkah saat hendak berjalan menuju kamar mandi.
Awalnya kukira berhasil, sebab beberapa saat setelah aku mengunci pintu dan menyalakan shower, seseorang mengetuk pintu kamar mandi dari arah luar. Siapa lagi memangnya kalau bukan Radika?
"Sam? Kamu nggak papa? Masih sakit?"
Aku tidak langsung menyahut. Kalau dibilang sakit, ya tentu saja. Tapi aku terlalu malu untuk menjawab, apalagi jika nanti aku harus menatap wajahnya.
"Y-ya, nggak papa," sahutku dari dalam.
"Aku mandi di bawah, ya. Setelah itu kita sholat bareng."
Aku hanya bergumam sebagai balasan, entah dia mendengarnya atau tidak.
Usai membersihkan tubuh, aku dan Radika pun salat subuh berjamaah. Untung sekarang hari libur, jadi aku tak perlu merasakan perihnya organ bawahku saat bekerja; sebab tahu sendiri pekerjaanku harus berjalan sana-sini, tidak bisa hanya berdiam duduk di tempat.
Namun ... perasaan bersalah merasukiku saat diam-diam aku meminum obat yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari. Sampai saat ini, aku belum berdiskusi dengan Radika mengenai keputusanku ini.
Tanganku refleks bergerak untuk menyimpan obat tatkala menyadari Radika hendak menghampiriku. Tanpa aba-aba, pria itu mencium puncak kepalaku dan mengusaknya dengan pelan. Setelahnya, Radika menarik bangku untuk duduk di sampingku.
"Masih sakit?"
Aku melirik elang ke arahnya. "Nggak usah ditanya mulu kenapa."
Radika terkekeh, lalu menggenggam erat tanganku. "Nggak usah masak ya hari ini. Kita delivery aja. Kamu udah laper?"
Aku tak langsung menjawab, sebab pikiranku masih saja berputar mengenai rasa bersalahku setelah meminum obat pencegah kehamilan. Sepertinya aku harus jujur, karena mau bagaimana pun Radika adalah suamiku.
"Rad ...." panggilku dengan nada ciut. "Aku habis minum pil KB."
Radika terdiam sejenak, tak memberikan respons. Namun aku tahu dari bagaimana elusan jemarinya pada tanganku berhenti, pria itu sepertinya kaget dengan pernyataanku barusan.
"Kenapa?"
Aku menunduk, memilih untuk menghindari tatapannya. "Aku ... belum siap. Aku butuh waktu. Mungkin sekitar dua sampai tiga tahun. Aku juga belum siap ninggalin pekerjaan aku." Perlahan, aku kembali mendongak, mencoba untuk kembali menatap wajahnya. "Kamu marah?"
Radika kembali terdiam, lalu tersenyum tipis dan menggeleng pelan.
"Nggak papa. Aku nggak marah," Radika membelai suraiku. "Kalau kamu belum siap, nggak masalah. Aku nggak akan maksa kamu, karena mau bagaimana pun 'kan kamu yang hamil. Bukan aku. Yang penting ..."
"Yang penting apa?"
Garis matanya berubah dan merautkan aura nakal. "Yang penting jatahku nggak berkurang."
KAMU SEDANG MEMBACA
UNEXPECTED [✔]
RomanceSetelah delapan tahun tidak pernah lagi berjumpa, nyatanya hatiku masih berdebar pada pria yang sama.