[12]

596 87 0
                                    

"Saling berkomitmen itu berarti kalian punya tujuan akhir untuk menikah, 'kan?"

Aku mengangguk perlahan. Kendati tidak ada status di antara aku dan Radika, kupikir-pikir komitmen yang kami miliki jauh lebih serius daripada status itu sendiri.

"Waaah, bagus itu malah, pacarannya habis nikah," sahut Lestari dengan riangnya. "Aku sama Mas Raka dulu juga gitu, kita ta'arufan. Cuma butuh waktu dua bulan, akhirnya menikah deh. Insha Allah kalau kalian menikah karena ibadah, semuanya pasti berjalan lancar," ucapnya yang membuat hatiku berdesir.

"Aamiin, Mbak. Makasih ya, Mbak," balasku dengan tulus.

"Sama-sama." Lestari kembali menyunggingkan senyumannya. "Kamu nanti pede aja ya pas ketemu sama Ibu," lanjutnya dengan cengiran penuh arti.

Diberitahu seperti itu malah membuatku semakin gugup. "K-kenapa, Mbak?"

"Ibu itu awalnya agak susah diambil hatinya," tutur Lestari dengan nada pelan. "Gimana, ya? Susah ngejelasinnya. Tapi nanti kamu pasti bakal ngerti sendiri."

"Lho? Udah kenalan sama Mbak Lestari?"

Belum selesai dengan rasa penasaranku, tiba-tiba saja Radika kembali muncul di ruang tamu, mengakhiri konversasi bocoran mengenai calon ibu mertuaku.

Aku hanya sekadar mengangguk, entah merasa lega atau tidak saat melihat kehadiran Radika kembali.

"Kamu gimana sih, Dik?" Lestari berdiri dari sofa, membetulkan pelukan anaknya yang sedang terlelap di pundaknya. "Calonmu kok dibiarin sendirian."

"Nggak gitu, Mbak ... Ini tadi aku cari ayah sama ibu."

"Ya udah." Lestari menoleh ke arahku. "Aku ke atas dulu, ya, Samara. Mau taruh Kinar dulu, mumpung lagi pules."

"Oh, iya Mbak."

Radika melangkah mendekatiku. "Tadi udah kenalan sama kakak gue?" Aku pun mengangguk. "Jangan nervous, ya. Orang tua gue jinak, kok," Radika terkekeh, namun hal itu sama sekali tidak membantu untuk menenangkan detak jantungku.

Lantas pria itu pun merangkul bahuku, mengelus sisi lenganku seakan memberikan kekuatan di sana.

"All is well."

[***]

Kalau boleh jujur, aku merupakan tipe orang yang kurang pandai bergaul. Aku lebih sering bersikap pasif terhadap orang baru dibanding menjadi seseorang yang selalu menciptakan konversasi menarik.

Belum lagi raut wajahku yang sangat mendukung sekali; mendukung untuk membuat orang-orang di sekitar enggan untuk sekadar menyapa. Bahkan banyak teman-temanku yang bilang bahwa impresi pertama mereka saat melihatku adalah galak, jutek, judes, dan sinonim lainnya.

Itulah yang kutakutkan sekarang; mendapat impresi buruk dari calon mertuaku.

"Kata Radika, kamu kerja di rumah sakit ya, Samara?"

Aku terlonjak saat ayah Radika melempar tanya padaku. Aku bukan bermaksud melamun, namun sejak tadi aku berusaha mencari topik sebagai upaya memutuskan kecanggungan yang kurasakan.

"Iya, Om. Saya perawat."

Pria paruh baya itu menganggukkan kepalanya. "Kerja di rumah sakit mana?"

"RSUD Jagakarsa, Om."

"Oh? Kenal Ferdi berarti?"

Hanya ada satu nama yang kukenal sebagai Ferdi. "Maksud Om mungkin dokter Ferdi Budiawan?"

"Iya kali ya? Pokoknya orangnya tinggi besar, mukanya garang, tapi suka ngelawak."

Kalau dari ciri-cirinya sih aku kenal. "Iya, betul Om. Saya dulu pernah satu tim sama beliau. Mukanya aja yang galak, tapi orangnya suka bercanda."

Aku bersyukur terdapat topik mengalir yang membuatku sedikit menurunkan kecanggungan untuk mengobrol dengan calon ayah mertua. Terkadang Radika juga ikut menimpali. Hanya saja, ya, hanya satu orang yang masih belum bisa kugapai perhatiannya.

"Kalau nanti kamu udah jadi istrinya Dika, apa kamu mau berhenti bekerja?"

Aktivitas mulutku yang sedang mengunyah pun langsung berhenti. Sejak tadi, calon ibu mertuaku memang diam saja; tampaknya beliau lebih senang mengobservasi dalam diam. Namun ketika wanita paruh baya itu bertanya, jantungku rasanya langsung mencelos ke rongga perut.

Kalau ditilik kembali, segalanya memang terasa begitu cepat; termasuk pertemuan dengan calon mertuaku ini. Maksudku, aku dan Radika pun belum berbicara tentang hal tersebut, termasuk perjanjian pranikah lainnya.

Jika ditanya seperti itu, jujur saja aku berat untuk meninggalkan pekerjaanku. Bukan berarti aku akan menomorduakan suami dan urusan rumah tangga.

Selain karena panggilan jiwa, jabatan ners yang kugenggam ini tentu saja tak mudah untuk mendapatkannya. Aku sadar diri, orang tuaku mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk menyekolahkanku, sebab tentu saja berkuliah di jurusan kesehatan tidaklah murah.

Belum lagi waktu yang kutempuh hingga bisa mendapat gelar ners tidaklah sebentar. Di saat teman-temanku sudah bekerja dan mendapatkan gaji, aku masih berada di ketiak orang tua dan berkutat dengan profesi untuk mendapatkan gelar ners itu sendiri.

Sehingga bekerja merupakan salah satu balas budiku pada orang tua, walaupun aku tahu, aku takkan bisa membalas budi seutuhnya pada mereka. Namun inilah yang bisa kulakukan sebagai abdiku pada orang tua.

"Jam kerja Dika itu monoton setiap hari," calon ibu mertuaku kembali berbicara, seakan dirinya tahu kalau aku tidak bisa menjawab pertanyaannya tadi. "Dokter, perawat, bidan, atau orang-orang yang kerja di lingkup kesehatan itu pakai jam kerja shift 'kan ya? Nggak menentu setiap harinya?"

Aku mengangguk pelan. Belum lagi jika terkait libur, aku hanya mendapatkan satu kali dalam seminggu.

"Saya cuma takut kalau kamu terlalu sibuk bekerja, suamimu jadi terlantar." Wanita paruh baya itu menjeda sejenak. "Dalam berumah tangga, komunikasi merupakan hal yang paling penting. Bukannya saya mau ngelarang kamu untuk bekerja. Tapi kalau udah berumah tangga, kamu harus ingat ada hal yang harus diprioritaskan."

Tanpa diteruskan pun, aku tahu apa maksud dari ucapan calon ibu mertuaku.

Diberi petuah seperti itu justru membuat nyaliku sedikit menciut. Aku jadi mempertanyakan diriku sendiri.

Apakah aku siap untuk berumah tangga?

Apakah sisi egoismeku tidak akan mencuat saat berumah tangga nanti?

Bagaimana jika kekeraskepalaan ini justru dapat membuat keretakan dalam rumah tanggaku nanti?

"Ya itu nanti bisa dibicarakan lebih jauh lagi," ayah mertuaku menengahi, seakan tahu kalau aku belum memiliki jawaban yang ajek mengenai hal tersebut. "Masih banyak hal yang perlu kalian obrolin berdua. Apalagi menikah itu bukan seperti pacaran yang bisa putus-nyambung. Kalian membicarakan hal untuk seumur hidup kalian berdua. Jadi, pelan-pelan aja, obrolin bareng-bareng dan kasih solusi satu sama lain. Saya dan ibunya Dika sebagai orang tua asalkan itu baik untuk kalian, kami berusaha untuk mendukung."

Kupikir, aku dan Radika memang perlu mengobrol lebih jauh. Hal yang baru kusadari adalah aku dan Radika memang sama-sama keras kepala, dan hal tersebut bukanlah masalah sepele yang dapat kusingkirkan begitu saja.

Ah, pada dasarnya memang banyak 'kan yang harus dibicarakan sebelum kami berdua masuk ke jenjang yang lebih serius?

Bukannya aku ragu terhadap Radika. Aku ... bahkan ragu pada diriku sendiri.

[***]

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang