[9]

771 101 0
                                    

Ayah terdiam sejenak. Kopi dan teh yang kubuat tadi bahkan sepertinya mulai mendingin, sebab kepulan asap tipisnya sudah menghilang.

"Kamu sudah salat isya?" tanya ayah tiba-tiba yang membuat kita semua bingung. Dari semua pertanyaan mengenai lamaran, kenapa tiba-tiba ayah menanyakan hal di luar konteks? Jangan-jangan mau diajakin jama'ahan lagi?

"Sudah, Om, tadi di kantor."

"Kamu biasanya pagi bangun jam berapa?"

Haduh? Kenapa jadi aktivitas harian yang ditanyakan, sih?

Radika yang ditanya pun kelihatan ikutan bingung. Tapi dia pasrah-pasrah saja menjawabnya. "Sekitar jam 3 atau 4, Om."

Ayah kembali terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Namun, akhirnya dia kembali bersuara. "Saya terima niat baik kamu." Aku mendengar Radika mengucap kata syukur. "Sebenarnya, semua tergantung Sam. Saya sama mamahnya Sam manut. Kalau Sam terima, Insha Allah kita juga terima. Gimana, Sam?"

Eh? Sekarang malah aku yang gelagapan karena semua mata tertuju padaku.

"Niat baik Radika aku terima, Yah," jawabku dengan malu-malu.

"Alhamdulillah."

"Nah, mungkin nanti bisa lakukan pertemuan keluarga ya, Radika. Biar bisa ngobrol enak dan ngusung tanggal juga. Jadi, enaknya kapan keluarga kamu bisa ke sini?"

"Ayah!" Akhirnya aku pun bersuara. "Buru-buru amat, sih! Baru aja terima lamaran secara lisan, udah main ngusung tanggal aja."

"Lebih cepat lebih baiklah," sahut ayah dengan entengnya. "Ya nggak, Radika?"

Radika yang gelagapan pun hanya tersenyum.

[***]

Setelah melewati masa-masa tegang itu, akhirnya pembicaraan antara orang tua dan calon menantu pun selesai. Aku mengantar Radika sampai depan gerbang. Kuperhatikan ssdari tadi dia nggak bisa menyembunyikan senyum leganya itu.

"Seneng banget kayaknya bisa diterima sama orang tua gue?" tanyaku dengan nada bercanda.

"Ujian pertama lolos, 'kan?"

Aku membalasnya dengan acungan jempol. "Makasih, ya, udah bisa ngeyakinin ayah sama mamah. Dan ... maaf kalau tadi gue nggak bisa ngebantu apa-apa."

"Don't be sorry. Lo duduk di samping gue aja udah cukup ngebantu, kok." Radika memasang helmnya dan menyalakan mesin motornya. "Gue balik, ya? Kalau kangen nge-chat aja. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelah melihat kepulangannya, aku masuk ke dalam rumah, menemui ayah yang masih duduk di ruang tamu bersama mamah. Aku pun duduk di tempat Radika duduk tadi.

"Yah, kenapa tadi Ayah tanya Radika salat isya, sih? Sama ditanya bangun paginya juga?" tanyaku heran.

"Pertanyaan wajib itu," kata ayah sambil menyeruput kopinya yang sudah dingin. Aku pun mengerutkan dahi. "Orang itu malas atau tidaknya dilihat dari salat isya dan salat subuhnya. Kalau kecapekan sehabis kerja, kadang salat isya sering diakhirkan, 'kan? Terus, juga kalau dia bangunnya suka kesiangan, emangnya subuhnya juga nggak kesiangan? Paham 'kan maksud Ayah?"

Aku terkesima mendengar penjelasan ayah. Jadi itu ternyata tujuan ayah menanyakan hal tersebut.

"Kalau dia salatnya sudah tepat waktu, insha Allah dia bisa jadi imam kamu, yang bakal nuntun kamu menuju ridha Allah. Jangan dilepas tuh orang kayak gitu."

[***]

Pada akhirnya, Sabtu ini aku janjian bertemu dengan Melia. Aku yang ke rumahnya, sih. Soalnya nggak enak juga kemarin aku membatalkan janji kami berdua untuk bertemu.

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang