[16]

691 84 2
                                    

Akhir-akhir ini memang terlalu hectic bagiku. Tetap bekerja dan mengisi waktu luang dengan mengurus tetek bengek lamaran membuatku tak sadar jika ternyata hari yang kunanti sudah tiba di depan mata.

Seketika aku menyesal pernah mengolok-olok Melia, sebab saat ini kenyataannya degup jantungku mulai berdetak terlalu cepat. 

"Tanganmu dingin amat, Sam," tegur Irene; sepupuku, yang tiba-tiba saja menggenggam tanganku. 

Kebetulan Irene bekerja sebagai make-up artist, maka dari itu aku memerlukan bantuannya untuk menata wajah sekaligus rambutku. Dia juga kuminta untuk menemaniku di dalam kamar sampai nanti aku dipanggil keluar.

Tadinya aku ingin meminta Gian untuk menemaniku. Setidaknya mungkin celotehan tidak jelasnya itu bisa mengalihkan pikiranku. Ah, tapi berharap apa aku sama dia. Dia mah malah sibuk icip-icip kudapan.

"Mau kuambilin teh anget nggak?" tawar Irene, namun aku langsung menggelengkan kepala.

"Lagi nggak nafsu minum atau makan apa pun, Rene."

Irene mengulas senyum tipis. "Aku paham sih, aku juga pernah di posisi kayak kamu," ucapnya yang berusaha menenangkanku. "Kalian udah pacaran berapa lama?"

"Aku nggak ada pacaran, Rene, sama dia," tuturku jujur.

"Oh ta'aruf?"

"Ya semacam itu kali, ya? Intinya kita nggak pacaran. Boro-boro pacaran, kita berdua aja juga baru ketemuan lagi setelah beberapa tahun lost contact. Pokoknya tiba-tiba aja, nggak ada angin nggak ada ujan dia ngajak nikah, macam mau beli seblak," dengusku pelan.

Tiba-tiba aku kepikiran sesuatu. Kalau saja ternyata yang melamarku bukan Radika, gimana ya? Apakah aku bakalan langsung menerimanya?

"Dia temen lama kamu berarti?" Aku pun mengangguk pelan. "Dia emang ngincer kamu dari lama kali." Ucapan Irene membuatku tersipu. "Nikah 'kan butuh modal. Mungkin selama masa kalian lost contact, dia lagi kerja keras dan nabung biar punya keberanian buat ngelamar kamu."

Aku tidak pernah berpikiran sampai ke sana. Bahkan yang pernah kupikirkan tentang Radika adalah dirinya yang tiba-tiba saja mengirim undangan pernikahan padaku saking aku tidak lagi memiliki harapan bahkan untuk sekadar bertemu dengannya.

Namun kenyataannya kali ini justru tak pernah kubayangkan sebelumnya.

"Setelah ini, pasti bakalan banyak cobaan, Sam," Irene kembali bersuara. "Sebenernya aku nggak mau nakut-nakutin kamu, sih. Kamu mau dengerin atau nggak? Nanti takutnya kamu malah jadi bimbang lagi."

Aku mengangguk ragu. Ucapannya justru membuatku semakin penasaran.

"Dulu, waktu di masa-masa dekat tanggal pernikahanku, ada aja cobaannya. Salah satunya, aku pernah ada di titik nggak ada rasa sama suamiku. Kayak kenapa sih aku mau nikah sama dia? Tiba-tiba rasanya kayak muak gitu, aku juga nggak tau kenapa," Irene malah terkekeh saat menceritakan pengalamannya tersebut. "Waktu itu egoisme kita berdua emang lagi tinggi-tingginya. Aku nggak mau kalah, dan suamiku juga kelihatan pasrah dan bodo amat. Rasanya kepengin batal nikah."

"Duh. Aku jadi takut," refleks kugigit bibir bawahku. "Tapi 'kan sekarang kamu udah nikah nih sama suamimu, gimana caranya kamu lewatin masa-masa itu, Rene?"

"Turunin ego, Sam. Itu salah satu caranya. Jangan terlalu keras dan kesannya mau menang sendiri."

Seketika aku merasa bahwa aku termasuk orang yang keras kepala. Bahkan kurasa Radika pun juga, karena semasa SMA kami berdua pernah cek-cok sampai aku meninggikan suara. Setelahnya bahkan kami berdua tidak sudi untuk saling berkontak mata satu sama lain.

"Intinya laki-laki itu juga mau didengerin. Ada kalanya kita sebagai perempuan harus bisa ngalah. Itu salah satu wejanganku kalau nanti amit-amit kamu dapet cobaan kayak gitu."

Saat ini menghela napas saja terasa begitu berat.

Aku tersentak kaget saat mendengar riuh keramaian dari arah luar ruangan. Jantungku kembali berdetak cepat saat mengetahui rombongan keluarga Radika sudah datang.

"Nah, udah dateng tuh calonmu," ucap Irene. "Rileks, Sam. Tarik napas, buang napas."

Irene terus saja berusaha untuk mengalihkan kecemasanku, sampai tiba-tiba pintu kamar terbuka dan muncullah Gian yang menyembulkan kepalanya di sela pintu.

"Let's go, Mbak!"

"Let's go let's go palamu let's go."

Ucapannya itu berasa kayak mau ngajak motoran. Namun aku lantas berdiri dan kembali menatap cermin, memastikan bahwa riasan di wajahku masih terlihat rapi. Setelah mengambil napas dan menghelanya dalam detik yang panjang, barulah aku melangkahkan kaki keluar dari kamar, menghampiri kedua orang tuaku dan duduk di antara keduanya.

Aku tak bisa menahan degup jantungku saat melihat keluarga Radika yang duduk berhadapan tepat di depan keluargaku.

"Hayooo, matanya dijaga dulu yo, Le," teguran bernada canda dari Pakde Duta membuatku kembali menoleh ke arah Radika yang tengah menahan senyumannya sembari menunduk. Memangnya tadi dia lagi ngapain sampai ditegur begitu?

"Namanya juga kesemsem, Pakde!" celetukan itu membuat riuh tawa bergema di ruangan, yang untungnya sedikit mengurangi kegugupanku dalam menghadapi acara ini.

"Baik, sekarang Adinda Samara sudah ada di sini. Saya persilakan untuk pihak dari mempelai pria untuk menyampaikan maksud kedatangannya ke mari."

"Baiklah," Bapak Firmansyah alias calon ayah mertuaku mulai berbicara. "Mungkin saya boleh bercerita sedikit kali, ya? Beberapa bulan yang lalu, anak bontot saya alias Radika yang udah lama jomblo ini tiba-tiba bikin saya jantungan, katanya dia ingin menikah. Padahal selama ini dia jomblo, nggak pernah bawa teman perempuannya ke rumah. Katanya, calon wanita yang ingin dia nikahi ini teman sekolahnya dulu, yaitu Nak Samara. Si bontot ini juga meminta saya untuk cepat melamar Nak Samara, katanya takut diembat sama laki-laki lain."

Aku tidak menyangka dengan gamblangnya calon ayah mertuaku menceritakan hal tersebut di hadapan dua keluarga. Bahkan Radika kembali menunduk, mungkin saking malunya saat ayahnya menceritakan hal tersebut tepat di hadapanku.

"Gimana nggak minta buru-buru? Wong ternyata putrinya Pak Sudrajat iki ayu tenan, pantesan si bontot kesemsem terus dari tadi." Pria baruh baya itu menjeda sejenak. "Jadi, dari cerita yang sedikit saya sampaikan tadi, kami datang dengan niat baik dan meminta izin pada keluarga Bapak Sudrajat untuk melamar putri bapak; Nak Samara. Bagaimana Pak Sudrajat?"

"Baik, dari perwakilan mempelai pria sudah menyampaikan niat baiknya," Pakde Duta kembali memimpin acara. "Kali ini giliran pihak dari mempelai wanita untuk menjawab. Monggo Pak Sudrajat, saya persilakan."

"Oh iya, terima kasih atas niat baiknya," jawab ayah yang seketika membuatku kembali dilanda rasa gugup. "Kalau untuk jawabannya, saya kembalikan ke putri saya. Toh nanti yang akan menjalani pernikahan ya dia sendiri." Tiba-tiba saja ayah menoleh ke arahku. "Bagaimana, Sam? Kamu bersedia menerima lamaran dari keluarga Pak Firmansyah?"

Aku meneguk ludah sejenak. "Bismillah, saya bersedia."

"Alhamdulillah ..."

Acara pun dilanjutkan dengan serah terima seserahan. Setelahnya proses tukar cincin lamaran yang dilakukan oleh calon ibu mertuaku. Dapat sedikit kurasakan lirikan dari calon ibu mertuaku saat beliau sedikit mengangkat tanganku untuk memasangkan cincin. Mungkin dia tahu kalau aku masih deg-deg-an karena tanganku saja terasa begitu dingin dan tentu saja tremor.

Hah. Setidaknya satu rangkaian acara terlewati tanpa rintangan sama sekali.

***

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang