Lo tahu nggak tipe manusia yang lagi diam aja tuh dia kelihatan cakep, dan kalau senyum dia kelihatan manis. Nah, Sam kayak gitu orangnya. Walaupun Sam yang diam terkesan galak, tapi dia masih kelihatan cakep pokoknya. Ini orang kayaknya kalau ngapain aja juga kelihatan cakep. Gue nggak lagi ngegombal, ah tapi ini bisa jadi bahan gombalan gue nanti deh. Tapi dia beneran kayak gitu, makanya nggak heran banyak cowok yang suka sama dia, tapi untungnya dia nggak peka.
Iya, ya. Kenapa cewek sering nggak peka kalau ada banyak cowok yang suka sama dia? Tapi untunglah, untung banget Sam nggak pekaan orangnya, biar dia nggak ngelirik-lirik ke cowok lain. Sekarang gue harus tetap ngerasa was-was walaupun Sam udah mau menjalin hubungan yang serius sama gue. Selama janur kuning belum melengkung, siapa yang tahu 'kan?
Dan, yah, siapa bilang hubungan ini berjalan lancar jaya begitu aja? Walaupun kelihatannya adem ayem, ada kalanya gue ngerasa kesal. Dan puncaknya pas gue tahu kalau ternyata pemilik tempat yang mau kita sewa adalah punya mantannya. Sebenarnya punya bapaknya, sih. Cuma, sialnya waktu itu gue sama Sam ketemu sama si anaknya, alias mantannya Sam, karena katanya si bapaknya itu lagi ada urusan lain.
Kenapa gue bisa tahu?
Ya gimana gue nggak tahu dan nggak ngeh? Wong tiba-tiba itu cowok ngomong pake aku-kamu ke Sam, di saat gue sama dia bahkan masih pakai elo-gue. Sam juga rada kelihatan panik gitu, tapi gue mencoba untuk terlihat nggak peduli dan nggak peka. Padahal, gue orangnya pekaan.
Masalahnya, gue juga ngerasa ketar-ketir nih. Si mantannya Sam ternyata cakep juga, udah gitu lebih tinggi dari gue lagi. Gue nggak ngerti kenapa mereka berdua putus, tapi bodo amatlah. Yang penting 'kan mereka berdua udah nggak ada hubungan lagi, dan dia pasti udah tahu juga kalau kita sewa tempat ini untuk apa. Yang jelas, dia udah kalah 'kan dari gue?
Walau gue sadar diri, dia emang lebih cakep dan tinggi daripada gue.
Yah, beginilah nggak enaknya punya calon istri yang kelewat bidadari. Barisan mantannya glowing semua. Bahkan si curut IPS itu gue akui masuk ke barisan tersebut. Apalagi dia menyandang ketua ekskul musik dan bisa main segala alat musik. Serasi udah. Klop. Sama-sama penyuka musik dan bisa main alat musik. Apalah gue yang coba menambah tinggi badan dengan minum susu tapi nggak ada hasilnya ini?
Soalnya, tinggi Sam hampir setinggi gue, cuma beda beberapa senti aja; yang entah untung atau tidak kalau gue sama dia masih tinggian gue. Mau nangis gue rasanya.
Perempuan, tolong dengar baik-baik. Laki-laki juga punya titik sensitif yang bisa ngebuat harga dirinya turun drastis. Termasuk masalah fisik.
"Gue nanti kalau nikah mau pake sepatu, boleh ya?"
Sam memang suka random, nggak jelas, atau sebenarnya malah unik? Dia bahkan mengusung tema gaun maunya hitam, kayak mau ngelayat. Dan sekarang, malah mau pakai sepatu?
Tapi, gue baru sadar. Selama ini, kalau gue jalan sama dia, Sam memang nggak pernah pake sepatu yang lancip itu, yang kayaknya kalau dipakai malah nyiksa diri sendiri. Dia selalu pakai sepatu converse, atau yang teplek-teplek gitulah pokoknya, nggak tahu namanya apa, sama dia keseringan pakai sendal gunung versi cewek kalau kita berdua jalan-jalan nggak terlalu jauh.
Jadi, seharusnya gue nggak heran kalau dia nanti mau pakai sepatu.
Atau, sebenarnya, dia tahu concern gue? Tentang tinggi badan? Makanya dia mau pakai sepatu dibanding benda lancip itu?
"Sepatu converse item gitu, yang biasa kita pake pas SMA. Kayaknya pas dan lucu kalau sama gaunnya," Sam kembali menjelaskan karena sedari tadi gue belum memberikan jawaban.
"Iya, boleh," balas gue tanpa mengintervensi keinginan Sam.
"Hehehehe, makasih."
Padahal, Sam nggak perlu bilang makasih ke gue. Toh acara ini punya kita berdua, dia punya hak untuk memakai apapun. Tapi entah kenapa, rasanya lega banget pas dengar dia bilang begitu. Concern gue serasa terbang begitu aja, padahal gue nggak bilang masalah itu ke dia sama sekali.
Entahlah sebenarnya Sam ini peka atau enggak. Kalau masalah perasaan hati sih kayaknya dia memang beneran nggak peka. Tapi, yang jelas, gue senang kalau dia bisa memahami gue tanpa gue beri penjelasan sedikit pun. Semoga aja gue juga bisa bersikap kayak gitu ke dia.
Untungnya, saat itu, gue bisa meredam kekesalan gue, tapi malah berujung gue yang demam. Ternyata, memendam perasaan itu juga bisa bikin sakit fisik, ya?
Tapi, itu justru jadi bumerang yang baik buat gue. Karena itu, Sam malah ngerawat gue di rumahnya. Sumpah. Gila aja lo, numpang tidur di rumah mertua. Pengin nolak, tapi beneran pengin nginep juga, hehehehe. Hitung-hitung, belajar menjadi suami di saat lagi sakit.
Karena gue benar-benar nggak berdaya, walaupun gue yakin gue masih bisa berkendara sampai rumah, Sam nggak ngebolehin gue pulang sendiri. Akhirnya, mau nggak mau, ya gue nginep juga--di kamar tamu. Ya kali di kamarnya dia. Digebukin gue sama bapak mertua, walaupun saat itu keluarganya lagi nggak ada di rumah semua.
Dari saat itulah gue yakin, Sam memang benar-benar orang tulus, orang yang beneran sayang sama gue. Dia udah nggak peduli sama mantan pacarnya yang kebetulan emang cakep itu. Buktinya, sampai saat ini dia nggak ada bilang buat ngebatalin pernikahan ini, 'kan?
Amit-amit, ya Allah. Buat ketemu sama dia lagi aja butuh bertahun-tahun. Ngelupain juga susah. Jangan sampai kata laknat itu muncul dari mulut calon istri gue sendiri.
Sampai pada akhirnya, kita berdua udah jadi suami istri. Gue suaminya, Sam istrinya. Jelas anak-anak kelas pada heboh pas gue sama Sam nyebar undangan di grup chat, soalnya kita berdua memang nggak pernah ngumbar hubungan di sosial media. Yah, ngasih tahu Melia aja enggak, padahal gue masih berhubungan baik sama dia. Yah, gara-gara Sam yang kayaknya masih ngerasa nggak enak kali ya? Nikung temannya sendiri. Padahal, gue rasa, masalah perasaan itu nggak ada yang bisa mengontrolnya. Tapi, gue ngasih kebebasan ke Sam buat ngasih tahu kabar kami ke Melia. Padahal gue udah tahu kalau Melia mau tunangan, dengan kata lain seharusnya Sam nggak lagi harus merasa bersalah kayak gitu.
Sekarang, malah gue yang jadi ngerasa bersalah. Jadi, selama ini, Sam curhat ke siapa kalau temannya aja juga suka sama gue?
Ah, udahlah. Itu udah lewat. Jadul. Sekarang, gue udah sama Sam. Si Samara. Si cewek galak yang dari awal bahkan gue nggak pernah berekspektasi untuk bisa dekat sama dia, apalagi punya hubungan yang lebih dari itu.
Dan sekarang? Dia bahkan udah sah jadi istri gue. Jadi orang pertama yang gue lihat ketika gue bangun.
Samara. Sayangnya aku. Kalau kamu baca ini, aku mau mengakui sesuatu. Kayaknya, aku nggak menyesal kalau dulu pernah ghosting kamu. Jangan marah dulu. Kalau aku nggak nge-ghosting kamu, kayaknya kamu nggak akan lari-lari di dalam pikiranku, deh. Mungkin aku malah nggak akan kepikiran untuk ngejar kamu lebih jauh.
Aku senang karena semua jawaban dari doa aku adalah kamu. Gombalan aku keren, nggak? Peka dong, Yang. Kamu nih. Bersemu dikit kek, bahagiain suami kamu sendiri.
Tapi kayaknya lebih seneng lagi kalau ada yang lucu-lucu gitu ya di rumah kita? Yang bentuknya kecil, beratnya tiga sampai empat kiloan, yang kerjaannya kalau nggak nangis, pipis, ya eek. Apa ya itu? Apa kamu tahu jawabannya, Adinda Samara?
[**finish**]
KAMU SEDANG MEMBACA
UNEXPECTED [✔]
RomanceSetelah delapan tahun tidak pernah lagi berjumpa, nyatanya hatiku masih berdebar pada pria yang sama.