[14]

671 87 4
                                    

"Dan ketika lo tanya kenapa gue mau cepet-cepet, ya karena gue nggak mau disalip sama orang lain."

Bibirku langsung terkatup, bingung ingin merespons apa. Bahkan aku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain saking malunya.

"Ya tapi seperti yang dibilang sama bokap lo tadi, kita perlu pelan-pelan, dan masih banyak juga yang perlu diomongin ke depannya, 'kan? Gue nggak akan ke mana-mana, kok."

Kali ini Radika yang terdiam. "Lo ngerasa gue terlalu buru-buru, ya?"

Aku mengangguk pelan. Walaupun hitungannya aku dengan Radika sudah berteman dan mengenal satu sama lain, tentu saja kami masih butuh menjalankan segalanya secara bertahap, tidak serta merta diputuskan begitu saja.

"Gue cuma pengin lo tahu kalau gue emang serius sama lo."

Baiklah, aku paham. Aku pun mengakui, sebagai wanita, aku juga membutuhkan sebuah status untuk bisa berpegang teguh pada hubungan tersebut.

"Lo udah berani dateng ke keluarga gue, lo juga udah ngajak gue buat ketemu sama keluarga lo. Dari situ aja gue juga tahu kalau lo emang serius." Aku menghela napas sejenak. "Jadi, nggak perlu buru-buru, oke?"

Perlahan, Radika pun mengangguk. Yah setidaknya dia tahu kalau aku bukan merasa ragu, tapi memang tidak ingin diburu oleh waktu.

"Jadi sebaiknya buat pertemuan keluarga kita gimana? Kira-kira dalam bulan ini bisa atau enggak?"

"Sebentar."

Sejenak, kuambil ponsel dan membuka jadwal pekerjaanku. Otomatis aku harus mencari hari sabtu atau minggu yang kosong, sebab memang cuma di hari itu Radika memiliki hari libur. Dari sini saja kami berdua sudah kesulitan mencocokkan jadwal. Aku bukan kepala ruangan yang memiliki hari libur sabtu dan minggu.

"Kebetulan hari minggu di akhir bulan gue ada libur, nih," ucapku yang kemudian kembali menaruh ponsel di meja. "Mau di tanggal segitu aja?"

Radika mengangguk. "Pertemuannya sekalian lamaran, ya?"

"Oke. Tapi gue maunya yang sederhana aja, nggak papa, 'kan?"

Pria itu kembali mengangguk sembari tersenyum tipis. Kupikir, lamaran tak perlu dimeriahkan layaknya pernikahan. Bahkan kalau perlu memang hanya keluarga saja yang hadir dalam acara tersebut.

Ah, aku baru teringat satu hal.

"Oh ya, Rad," panggilku. "Mau nggak sebelum itu kita premarital check-up dulu?"

Menurutku, premarital check-up merupakan bagian yang sangat penting sebelum menuju jenjang yang lebih serius. Dari pemeriksaan tersebut nantinya akan terungkap bagaimana kondisi kesehatan pasangan masing-masing.

Daripada ternyata setelah menikah baru ketahuan memiliki suatu penyakit, 'kan? 

Amit-amit, deh.

"Boleh. Mau sekarang?"

"Yee! Nggak sekarang juga kali! Udah kesorean ini mah!"

Radika hanya tertawa. "Oh ya, besok 'kan acara tunangannya Melia. Dateng, 'kan?"

Aku mengangguk. Jelas saja aku datang. Masa aku yang sohibnya nggak datang, sih?

"Mau berangkat bareng?"

Aku langsung menggeleng. "Jangan. Lagian 'kan kita nggak searah, nanti lo malah makin kejauhan. Langsung ketemuan di sana aja. Dan," aku menjeda sejenak, "jangan bilang apa-apa dulu ke Melia tentang kita ya?"

"Kenapa?"

"Ya besok 'kan acara tunangannya dia, agak nggak etis aja kalau acara bahagianya dia ditimpa sama soal hubungan kita."

Dan sebenarnya ... aku masih takut dibilang sebagai orang yang menusuk dari belakang.

[***]

Saat ini aku berada di acara pertunangan sahabatku, alias Melia. Sesuai dengan kesepakatan kemarin, aku dan Radika berangkat sendiri-sendiri. Pun sampai sekarang aku masih belum bisa melihat batang hidungnya. Mungkin dia terjebak macet.

"Lo deg-deg-an nggak, Mel?" tanyaku penasaran. Melia tidak menjawabku, akan tetapi tangannya tiba-tiba merambat dan meraih tanganku untuk digenggam. Seketika aku mengetahui apa perasaan sahabatku saat ini. "Gila, tangan lo dingin banget."

"Make up gue nggak luntur 'kan ya?" Terdapat nada khawatir dari vokal Melia.

Aku pun terkekeh, berusaha membuatnya tenang. "Boro-boro luntur, pori-pori lo aja pada nyungsep semua."

"Jangan ketawa lo, ntar lo juga bakalan ngerasain di posisi gue." Aku malah makin ketawa. "Eh, Sam. Mumpung lo di sini, coba noh gaet temen-temen gue. Atau lo mau gue kenalin? Siapa tahu ternyata jodoh lo ada di sini."

Orangnya memang ada di sini, tapi belum datang, jawabku dalam hati.

"Ada yang paket komplit nggak, Mel?" candaku.

"Paket komplit apanya?"

Aku terkesiap saat mendengar vokal bass di antara konversasi kami. Lantas aku dan Melia pun menoleh saat mengetahui kemunculan Radika yang sangat tiba-tiba itu.

"Lo ke mana aje jamblang?!" seru Melia saat melihat kehadiran Radika. "Sok sibuk banget kayak bos aja!"

"Sibuk cari bola naga," balasnya asal. "Eh, ada Samara. Sendirian aja, Sam?"

Aku tersenyum kecut. Yah seharusnya kami memang berlagak seperti tidak pernah bertemu lagi satu sama lain setelah sekian lama.

"Iya, sama kayak lo, masih jomblo aja sampai sekarang," sahut Melia. "Pokoknya nanti gue kenalin temen gue ya, Sam? Awas aja lo kalau kabur!"

Duh, matek aku. Mana Radika kedapatan melirikku agak sinis lagi, seakan aku ketahuan sedang selingkuh darinya.

"Wah, ntar tiba-tiba lo bisa nyusul Melia nih, Sam," balas Radika yang terdengar bagai sebuah sindiran untukku. "Gue laper nih, boleh makan dulu nggak?"

"Idih!" sambar Melia. "Dateng-dateng malah numpang sarapan. Kasih selamat dulu gitu kek."

"Tunangan lo aja belum dateng, mau dikasih selamet apanya?"

"Ya itu udah tau!  Malah maruk minta makan duluan!"

Dalam diam aku terkekeh pelan. Dari dulu mereka berdua memang selalu seperti itu, tidak ada hal yang tidak membuat naik pitam. Pasti keduanya selalu adu mulut. Anehnya, hal tersebut tidak membuatku cemburu, malah terasa lucu.

Toh, Melia sudah ingin tunangan, 'kan? Hal apa yang perlu kucemburui dari Melia?

Tak lama, calon tunangan Melia pun beserta keluarganya sudah datang, sehingga aku dan Radika harus melipir sebagai penonton. Tadinya aku mau meneruskan bersandiwara bak sudah lama tak bertemu dengan Radika. Tapi pria ini malah menempeliku terus-menerus.

"Matanya dijaga ya, Mbak," bisik Radika di saat aku sedang mengabadikan proses lamaran Melia menggunakan ponselku.

"Apa sih?"

"Inget, situ udah punya calon tunangan," celetuknya.

Seketika aku pun tertawa. Ternyata dia masih mengingat hal yang tadi. Padahal aku cuma bercanda saja.

"Siapa bilang saya punya calon tunangan?" tanyaku dengan nada menggoda. "Lihat ada cincin nggak di jari saya? Kalau nggak ada berarti saya masih available."

Pria itu pun berdecak. "Ya udah, abis ini kita langsung cabut beli cincin."

Aku ingin menyembur tawa, tapi aku masih ingat kalau aku masih di dalam acara yang khidmat ini. Sialan sekali Radika, bisa-bisanya membuat perutku tergelitik.

Tiba-tiba saja Radika menarik tanganku dan mengikat tisu di jari manisku.

"Pake ini dulu buat dp cincin yang asli," ucapnya dengan nada serius, namun justru semakin membuatku ingin tertawa. "Nggak boleh dilepas sebelum cincin aslinya kebeli."

Langsung saja kupukul pahanya. Ada-ada saja kelakuannya ini.

[***]

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang