[30]

651 60 5
                                    

"Yang."

"Hm?"

"Yang."

"Hm?"

"Yaaaang."

"Hmmmm?"

"Ham hem ham hem!"

Aku refleks terkekeh pelan tatkala merasakan aura sebal dari nada yang dilontarkan oleh suamiku tersebut. Namun aku tetap memilih fokus membaca novel dibanding harus menatap pria yang sejak tadi terus saja memandangiku.

Biarkan saja, toh pasti biasanya Radika memanggil bukan karena hal yang penting-penting amat. Dari dulu dia juga begitu, nggak berubah sampai sekarang. 

Kalau ngobrol ngalur-ngidul nggak pernah mengusung topik yang penting; misalnya kayak pemilihan presiden kemarin, yang bahkan dia sama sekali nggak bertanya padaku siapa yang akan kupilih. Pokoknya pada hari pemilihan, dia cuma bilang, 'Yuk, Yang, berangkat. Jangan siang-siang, males ngantrinya'. Lalu setelah pulang dari acara; 'Yang, masa tadi petugasnya jahil, jariku dicelupin penuh ke tinta. Dikira aku tukang printer apa?' sambil menunjukkan jarinya padaku dan juga wajah khas cemberutnya.

"Kamu tau nggak sih kalau kamu nyebelin?"

"Siapa?" Aku berbalik tanya tanpa mau menoleh ke arahnya.

"Masa pake ditanya?"

"Kamu?"

Radika berdecak sebal, lalu pria itu mengambil novel dan menjauhkannya dari jangkauan tanganku. Belum selesai, bahkan dengan seenaknya pria ini merebahkan kepalanya di kedua pahaku; menatapku dengan bibirnya yang mencebik. 

Padahal aku yang mau mendekati hari menstruasi, namun kelihatannya malah Radika yang terkena sindrom pramenstruasi. Lucu memang manusia satu ini.

"Novel mulu. Akunya kapan?"

"Apa, sih?"

Kutarik pelan poni Radika ke arah belakang, hingga dahinya yang lebar pun terpampang jelas; yang katanya hanya dimiliki oleh orang-orang cerdas; yang sialnya memang harus kuakui bahwa Radika adalah salah satu jenis manusia itu.

"Kamu. Nyebelin."

"Masa?"

Sebenarnya aku menyadari bahwa aku memang orang yang menyebalkan. Hanya saja, aku bodo amat dan nggak terlalu peduli dengan pandangan orang lain. Cuma orang-orang tertentu yang memahami sifat menyebalkanku.

"Sadar nggak sadar, kamu tuh kadang kayak cowok, tau. Kalau dipanggil, cuma nyahut ham hem ham hem doang, ngebales sekenanya. Untung aku kenal kamu luar dalem, jadi ngerasa yang kayak gitu tuh biasa aja. Tapi juteknya dikurangin dong, Yang," keluhnya. "Aku 'kan bete didiemin terus dari tadi."

Susah ya kalau punya sifat 'nggak bisa mengekspresikan perasaan secara gamblang' ke orang lain, bahkan ke pasanganku sendiri. Aku kadang memang pendiam, tapi aku juga bisa jadi orang yang berisik kalau bertemu dengan orang yang benar-benar klop. 

Tapi untuk bilang sayang, cinta, dan sejenisnya ke orang lain kurasa itu agak berlebihan, yang membuatku lebih senang mengutarakannya lewat sikap.

"Ada masalah di kantor, hm?"

"Ada nggak, ya?"

"Yee! Malah balik nanya ini orang," kusentil jidat lebarnya.

Radika terkekeh sejenak, lalu kembali berubah datar yang membuatku memunculkan pertanyaan dalam benak. "Yang, kamu sayang nggak sama aku?"

"Kok nanya gitu?"

"Tuh, harusnya kamu langsung jawab lantang; ya aku sayanglah! Bukan malah balik nanya."

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang