[19]

552 72 3
                                    

Entah kenapa aku menangkap raut pias dari wajah Radika. Duh, paduka raja kok kayaknya lagi marah besar ya? Sedari tadi bahkan dia hanya mengaduk-aduk es krimnya sampai mencair.

"Kenapa diaduk-aduk terus es krimnya?" tanyaku basa-basi.

Radika menatapku, lalu dia hanya menipiskan bibirnya. Kenapa, nih? Dia yang biasanya lebih aktif dalam obrolan, kenapa malah jadi pendiam begini? Akika 'kan jadi takut.

"Lagi nunggu es krimnya adem."

Aku tertawa dengan nada sumbang. Orang lagi serius-serius, malah dibercandain. Radika pun hanya tertawa sejenak, nggak ada 2 detik juga, hingga akhirnya suasana kembali kelam. Sepertinya aku harus memastikan sesuatu.

"Rad?"

"Hm?"

"Lagi marah?"

"Marah kenapa?"

"Marah sama gue?"

Radika malah menaikkan salah satu alisnya, seakan dia tidak mengerti apa maksud dari ucapanku. "Nggak ada. Kenapa harus marah?"

Aku menggigit bibir bagian bawahku. Aku nggak tahu sekarang Radika sedang memutarbalikkan keadaan atau bagaimana. Yang jelas aku nggak suka dengan sikapnya yang seperti ini.

"Lo marah soal Farhan?" 

Akhirnya aku to the point. Capek juga kalau harus berbasa-basi terus.

"Farhan? Farhan yang tadi?"

Aku menghela napas dan mengangguk. Memangnya yang mana lagi? Nggak mungkin juga 'kan aku menyebutkan nama tetangganya? Ya kali saja ternyata dia punya tetangga yang namanya Farhan juga.

"Nggak. Ngapain gue marah sama dia? Perasaan nggak ada salah apa-apaan."

Justru karena nada vokalnya yang terdengar datar itu membuatku semakin yakin bila hal yang membuat Radika menjadi seperti ini adalah mengenai Farhan.

"Yakin?"

"Mau balik sekarang nggak? Es krimnya udah habis, 'kan?"

Dia mengalihkan pertanyaanku. Aku agak sakit hati ketika dia berkata seperti itu. Apa dia benar-benar marah padaku? Kalau marah, kenapa lebih memilih untuk menghindar, sih? Katanya kalau ada apa-apa, harus diceritakan? Tapi kenapa dia malah menutup-nutupinya?

"Ya udah, ayo pulang," kataku sambil menaruh ponsel dalam tas dengan pergerakan yang kesal. Aku pun bergegas meninggalkan meja, namun tiba-tiba tanganku ditarik oleh Radika.

"Jangan marah, ya? Cukup sampai di sini aja buat nyiapin pernikahan kita, besok-besok 'kan masih bisa."

Aku langsung merotasikan tubuh dan menatap Radika dengan raut kaget. Pasalnya, tangan Radika terasa begitu hangat.

"Lo sakit?"

Radika tidak menjawab. Tanganku pun refleks untuk menyentuh dahinya. Dan benar saja, suhunya berbanding terbalik dengan telapak tanganku.

"Kenapa nggak bilang dari tadi, sih? Kalau kayak gitu, mending tadi kita langsung pulang aja."

"Iya ini 'kan mau pulang ..." kata Radika dengan lemas.

"Ya udah, gue yang bawa motor, lo duduk di belakang."

Jangan salah. Gini-gini aku sering membonceng ayah kalau beliau malas mengendarai motor. Jangankan ayah, Gian yang badannya bongsor saja aku juga kuat.

"Masa begitu?" bantah Radika degan cepat.

"Ya kalau lo pingsan, kita berdua yang celaka!" hardikku pelan. "Sini, mana kuncinya? Gue aja yang bonceng."

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang