Now and Past
I feel that life has become
Too complicated to understand
I question the reason for my being
Meandering through life's maze
Thinking about you, I ask my self
Is this permanent, or is it just a phaseB r i a n
Malam Minggu mungkin adalah malam yang paling ditunggu-tunggu oleh penghuni maison de rêve –atau mungkin hanya oleh gue. Padahal, gue sendiri gak tahu mau melakukan apa di malam Minggu, karena bagi gue mau malam Minggu kek, mau malam Jumat kliwon, mau malam Senin, semuanya sama aja.
Gak deh, bagi gue yang menakutkan adalah malam Senin, karena besoknya gue harus was was dengan kesiapan otak gue menghadapi cobaan dunia yang datang dan hanya berakhir di akhir semester. Malam Minggu untuk Sena pasti ia isi dengan tidur. Ya iyalah, toh kemarin-kemarinnya gak pernah tidur, wajar sih memanjakan diri sendiri di satu hari.
Malam Minggu gue, biasanya gue isi dengan gabut berat di depan televisi bersama Bang Yoga dan Bang Ijul. Tapi saat ini, Bang Ijul gak ada di sebelah gue, entah kemana dia pergi. Walaupun kegiatan gue dan Bang Yoga memang unfaedah –karena kita hanya menyetel televisi hingga tengah malam tanpa mengerti konten acara yang semakin bobrok itu— setidaknya gue gak tidur melulu seperti si Jhordan yang suara ngoroknya aja bisa terdengar sampai sini.
Dan yang paling gue gak ngerti adalah Dennis dan Cakka akan tetap mengurung diri di kamar. Gue kadang curiga, jangan-jangan mereka bukan belajar tapi nonton film... ah, sudahlah. Jadi pengen ikutan.
"Bang," panggil gue pada Bang Yoga yang sedang memainkan ponselnya, membuka online shop dan memilih-milih lip balm. "Anjir, Bang, lip balm mah di warung Pak Dudung juga ada, ngapain deh mesti beli online? Ribet."
Bang Yoga menoyor gue. "Yeuu, suka-suka gue lah."
"Lagian, Bang, bukannya pacar lo pasti ngasih lip balm tiap bulan?" Tanya gue penasaran. Ya iya penasaran, gue yang jarang bersih-bersih ini sampai ingin membuang semua isi kamar Bang Yoga karena isinya adalah kardus-kardus bekas pemberian pacarnya yang sudah ia tumpuk hingga hampir menyentuh langit-langit kamar.
"Pacar gue?" Tanyanya sok bego. Yeuu, bego beneran kayaknya, sih.
Gue mengangguk. "Iyeee, pacar lo, Bang, masa pacar gue yang ngasih lo lip balm. Itu kardus yang setumpuk itu kan dari pacar lo?"
"Emang lo punya pacar?"
"HAH, CAPEK GUE!" Gue tidak berniat bertanya kembali pada Bang Yoga yang hanya cengengesan. Gue gak mengerti kenapa setiap gue menyinggung sesuatu tentang pacarnya, Bang Yoga pasti mengalihkan topik dan gak menjawab pertanyaan gue.
Ya, kan gue jadi penasaran.
Awas aja kalau gue mati penasaran.
Setahu gue, kotak warna pink atau biru akan mampir ke kosan setiap bulan dengan tujuan Bang Yoga dan diberikan oleh Cakka. Terlalu banyak kenapa yang ingin gue tanyakan pada Bang Yoga. Kenapa si cewek –yang bahkan gue lupa namanya karena gak pernah Bang Yoga kenalin ke kita-kita—gak ngasih langsung. Harusnya, kalau mereka pacaran, si cewek pasti bisa ngasih langsung tuh hadiahnya. Terus, kenapa harus lewat Cakka? Kenapa Bang Yoga kok kayaknya selalu gabut di malam Minggu padahal dia punya pacar?
Ah, udah lah pusing gue. Ngapain juga jomblo kayak gue memenuhi memori dengan hal-hal yang tidak penting seperti itu.
"Itu mah bukan dari Ditas, Yan. Itu akal-akalan Cakka doang," jawabnya setelah keheningan panjang. Matanya masih menatap televisi dengan serius –padahal yang ditampilkan hanya iklan-iklan gak penting.
"Ha? Gimana-gimana?" Tanya gue bingung.
Oh iya, gue jadi ingat ceweknya Bang Yoga namanya Ditas. Seinget gue, namanya bagus, tapi apa, ya? Ditas Atlanta? Ditas Atlantis? Yeu, emang Ancol. Ditas Anugrah? Bukan ah, kayak sinetron. Ditas.... Ditas apa, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rêver
Ficção GeralYou're invited to: Maison de rêve, rumah mimpi. Tujuh orang pemuda dengan tujuh mimpi yang berbeda datang ke sebuah rumah sederhana berwarna biru milik seorang laki-laki paruh baya. Rumah itu kosong dan sepi, tapi akhirnya menjadi rumah penuh warna...