Rêver 31 - Julian - Kamu, Mimpiku, dan New York

99 13 9
                                    

Goodbyes are not the end,

It simply means 'I'll miss u til we meet again.'

J u l i a n

Gue percaya kalau hidup adalah pelajaran dan pengalaman adalah guru terbaiknya. Dari sekian tahun gue hidup—maaf ya gue gak sebut umur karena berasa tua banget—banyak hal yang gue sadari. Salah satunya adalah bahwa hal-hal di dunia ini gak perlu dikejar sebegitunya. Ungkapan let it flow—yang menurut gue gak sepenuhnya tepat—kadang kali perlu dilakukan.

Lo bisa capek kalau terus berlari.

Jadi yang perlu dilakukan untuk hal-hal di dunia ini adalah berjalan. Berjalan sebagaimana mestinya, ikuti alurnya, jangan terburu-buru, dan gak perlu berlari. Ketika mulai merasa capek, kita boleh beristirahat beberapa saat. Kita ini manusia dan perlu tahu diri, kan?

Gue menyadari hal itu saat akhirnya gue bisa berdiri di atas panggung lagi besok, sebagai seorang Julian Pramadipta yang mampu mengalihkan perhatian penonton dari berbagai sudut. Indikator keberhasilan gue besok bukan kemenangan, tapi menemukan diri gue sendiri yang sempat hilang.

Beberapa tahun terakhir, gue hidup dengan penuh ambisi sekaligus rasa takut. Gue ingin sekali membuktikan kepada orang tua gue kalau gue bisa hidup dan bersinar dari apa yang gue pilih, tapi terkadang gue takut gagal. Gue takut perjuangan gue akan sia-sia begitu saja tanpa membuahkan hasil yang diharapkan. Gue menggenggam erat semua hal yang gue impikan sampai tanpa sadar gue menyakiti diri sendiri.

Gue jauh dari orang tua gue ketika rumah gue sebenarnya sangat dekat.

Gue menghabiskan sebagian besar dari dua puluh empat jam gue untuk mengeluh dan merutuki diri sendiri ketika hal-hal yang gue lakukan gak berjalan sebagaimana semestinya.

Dan gue juga melepas orang yang sangat berharga karena keegoisan gue.

Kemudian, ketika gue melepaskan genggaman gue yang terlalu erat dan memegang mimpi gue sebagaimana mestinya, gue mulai merasa nyaman. Seperti kata Sena, gak perlu kita mengkhawatirkan hasil, yang penting kita sudah berjuang. Akhirnya gue mulai merasa bersyukur dan menghargai apa yang gue lakukan selama ini. Perjuangan memang seperti itu, kan? Kalau lo berjuang tapi sudah tahu hasilnya buat apa? Itu bukan perjuangan.

Gue selalu berkata,

Julian, you did a great job today.

Julian, remember, you are that awesome.

Julian, you are as bright as the sunlight today.

Dan gue akan tersenyum pada diri gue sendiri.

"Eh ini kebesaran. Pasti bukan punya gue! Gue gak gendut, ya!" Ujar Yoga sambil mengacung-acungkan jas yang ada di tangannya.

Brian mencibir, "Hih gak nyadar diri. Cobain aja jas yang lain! Jas Abang tuh emang besar karena Abang badannya besar. Nih lihat nih, ini emang punya Bang Yoga tahu," Brian menunjuk-nunjuk label yang tertempel pada jas Yoga dengan marah-marah.

"Untung gue kecil," celetuk Jhordan, membuat seluruh tatapan tajam segera mengarah kepadanya. "Anunya—"

"Jhordan!"

"Badannya! Ampun, dah, kalian tuh kenapa, sih," ujarnya sambil cengengesan, gak sadar kalau badannya paling besar di sini. Dia kemudian mematut dirinya di jendela dan menaik-naikkan alisnya, "Kaget masa!" Jhordan berteriak heboh, lagi-lagi membuat seluruh perhatian tertuju padanya.

Gue menoleh. Ralat. Semua orang menoleh. "Ada apaan?"

"Gue ganteng banget," jawab Jhordan cepat. "Kaget jadinya hehe."

RêverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang