Bahagia
Bahagia adalah proses belajar,
Belajar memperkaya sudut pandang,
untuk menghargai hal-hal kecilBelajar menepis prasangka,
untuk menghargai kebaikan dalam diri orang lainBelajar melapangkan dada,
untuk mensyukuri kegagalanBelajar memahami,
bahwa ketidaksempurnaan adalah sebuah karuniaDan belajar bahwa kita sendirilah,
tempat kebahagiaan itu bermulaB r i a n
"Jangan benci gue, Bri," tangan Chila merengkuh erat punggung gue yang lebih tinggi darinya. "Gue mungkin punya banyak alasan."
Berlawanan dengan apa yang dilakukan Chila, gue hanya diam. Membiarkan semua informasi yang memasuki otak gue tiba-tiba—hanya dalam beberapa menit—untuk mulai terserap satu persatu. Mungkin otak gue belum mengirimkan sinyal mengenai apa yang harus gue lakukan, hingga gue hanya mematung dan merasakan tangannya perlahan terangkat dari tubuh gue.
"Lo sebodoh itu ya, Chil?"
"Maksud lo?"
Gue tersenyum miring. "Lupakan." Gue membalikkan badan, memunggungi Chila tanpa melihat apa yang dikatakan oleh ekspresinya. Dalam hati gue berharap, dia akan memanggil nama gue dalam hitungan ke sepuluh.
Tapi apa?
Nihil.
Bahkan hingga langkah kedua puluh gue, cewek itu hanya mematung dan sama sekali tidak berniat menarik kata-katanya. Aneh. Gue gak tahu kepala dia habis terbentur apa, atau mungkin dia habis loncat dari lantai dua sampai logikanya mulai hilang. Hingga bahkan apa yang ia keluarkan lewat mulutnya sangat melantur.
"Ngelamun aja lo," Bang Julian nyengir, kemudian menyeret sotonya agar berada di sebelah gue. "Gak ada uang lo? Yok makan bareng, gue lagi diet nih."
Gue mengerjapkan mata beberapa saat, kaget karena ia menghancurkan lamunan gue. "Diet your ass," jawab gue cepat. "Lo mau semini apa lagi sampai harus diet?"
Bang Julian hanya tertawa, kemudian menyendokkan beberapa sendok soto sekaligus, membuatnya belepotan. "Si cilung kenape lagi? Aing gak ngerti sama friendzone-an macam maneh."ujarnya dengan mulut penuh.
"Gak kenapa-kenapa dia."
"Manehnya kenapa-kenapa?"
Gue terdiam dan tidak berminat menjawab. Kalau gue jawab baik-baik aja, jelas banget gue bohong. Tapi kalau gue jawab kenapa-kenapa, tar dia kira gue menganggap Chila lebih dari sahabat.
"Dari seluruh penghuni kosan, kayanya lo yang paling deket sama Bunga," ujar gue mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya, tidak betul-betul mengalihkan, karena topik Bunga memang sangat berhubungan dengan campur aduknya perasaan gue saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rêver
General FictionYou're invited to: Maison de rêve, rumah mimpi. Tujuh orang pemuda dengan tujuh mimpi yang berbeda datang ke sebuah rumah sederhana berwarna biru milik seorang laki-laki paruh baya. Rumah itu kosong dan sepi, tapi akhirnya menjadi rumah penuh warna...