Rêver 19 - Dennis & Nous - Bird of Paradise

156 16 16
                                    

Goodbye Road

After you leave me

I hope you

Only walk on path with flowers

D e n n i s

Seorang perempuan dengan bandana di kepalanya tengah terisak ketika gue datang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang perempuan dengan bandana di kepalanya tengah terisak ketika gue datang. Sementara itu gue hanya tergugu, tanpa tahu apa yang harus gue lakukan. Langkah kaki rasanya seribu kali lebih berat daripada biasanya. Ingin melangkah, tapi gue takut tidak sanggup. Ingin diam, tapi ada orang yang menanti kehadiran gue di sampingnya.

Mati-matian menahan air mata, akhirnya bulir bening itu keluar juga dari sudut mata gue. Membuat isakan kecil yang hanya bisa di dengar oleh diri gue sendiri. Terlebih ketika perempuan itu menoleh tanpa gue panggil. Mulutnya mengeluarkan suara setengah serak dan tertahan. Matanya sembap dan memerah. Rambutnya sudah acak-acakan.

"Bang Dennis..."

Gak ada gunanya lagi pertahanan yang gue buat tadi. Karena begitu perempuan itu menghambur ke pelukan gue, gue gak bisa menenangkan. Sebaliknya, gue malah ikut menangis sambil menepuk-nepuk puncak kepalanya. Entah berusaha menenangkan satu sama lain, atau mungkin membagi luka.

"Nada,"

Perempuan itu masih belum menegakkan kepalanya, masih membenamkan kepalanya di dada gue, hingga gue merasakan dada gue memanas karena air matanya. Gue gak pernah tahu kalau melihat dia menangis menambah rasa sakit ini, berkali lipat lebih besar.

"Nada....everyone in this life will return to their creator, to Allah. The only difference is the time," gue mengusap kepalanya lembut, memberikan kekuatan pada adik gue. Memberikan keyakinan, bahwa kita akan baik-baik saja setelah ini. "He did not leave us, he just returned. Remember that. Suatu saat nanti, di saat yang tepat, pasti kita juga akan menyusul."

Nada masih terisak, "Tapi kenapa harus sekarang, Bang?"

"Because it's the right time for him,"

"But it's not the right time for us."

"Nada, Abang selalu bilang kalau apa yang baik menurut kamu belum tentu baik untuk diri kamu, begitu juga sebaliknya," gue melepaskan pelukan dia, berusaha menatap wajahnya lamat-lamat. "Kamu gak boleh kayak gini, justru kita yang harus kuatin Mama. Got it?"

Nada menganggukkan kepalanya mengerti. Kemudian, perempuan berumur tujuh belas tahun itu menarik tangan gue menuju apa yang sedari tadi tidak ingin gue lihat. Mama yang tengah terduduk dengan air mata, dan Papa yang terbujur kaku di hadapannya.

Gue gak boleh nangis.

Karena sekarang mungkin hanya gue satu-satunya laki-laki yang bisa memancarkan kekuatan untuk mereka semua. Mungkin gue adalah satu-satunya yang diharapkan Papa untuk berada di samping mereka saat ini.

RêverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang