Rêver 6 - Julian & Yoga - Di Perempatan Jalan

169 22 55
                                    

Keputusan Akhir

Di perempatan jalan ini kita berpisah

Hanya karena berbeda arah

--Obic Adnanie--

J u l i a n

Pagi itu maison de rêve cukup tenang. Gue gak tahu hari libur nasional apa yang menyebabkan anak-anak masih tertidur dengan nyenyak di kamarnya masing-masing—termasuk Dennis dan Cakka. Sayangnya, gue harus terbangun di pagi hari yang cerah ini karena perut gue sangat sakit dan gak bisa ditoleransi lagi.

Walaupun gue terburu-buru berlari ke arah kamar mandi, mata gue sempat menangkap pintu kamar Jhordan—yang terletak di lantai atas—terbuka. Gak biasanya gue melihat pintu kamarnya terbuka, apalagi di hari libur seperti ini. Biasanya, pintu itu akan tertutup sampai tengah hari, dan gue tahu, pintu yang terbuka itu lah yang menandakan bahwa Jhordan belum pulang.

"BAANG IJUUUUL," pintu kamar mandi diketok dengan hebohnya, membuat gue tersentak dan bangun dari lamunan gue yang sedang memikirkan Jhordan. "Bang! Bang.... Oy! Lama banget sih, Bang, Cakka gak kuat."

Gue mengernyit kesal. Ya, lagian, selalu aja begini. Setiap gue lagi nongkrong indah di kamar mandi, pasti ada yang mengganggu. "Di kamar mandi atas aja kenapa, sih. Kamar lo kan di atas," jawab gue pelan. Tapi, ketokan itu semakin kuat dan membuat gue akhirnya mengalah untuk segera keluar dari kamar mandi.

"Di atas ada Bang Sena, gak tahu lagi semedi kali di kamar mandi," jawabnya Cakka sambil menahan sakit perutnya. "Lama banget dari tadi, udah satu jam kayaknya."

Gue berakhir membuka pintu cepat dan segera keluar. "Kenapa gak dari tadi sih?"

"Ya, kan tadi belum pengen berak, Bang. Gimana, sih, Abang malah ngatur-ngatur jadwal berak Cakka?" Cakka misuh-misuh sambil segera memasuki kamar mandi dan menutup pintunya kencang.

Gue menggeleng-gelengkan kepala, terlebih ketika ternyata kamar mandi atas juga sedang diketok-ketok dengan heboh. "Sen! Sen! Gue gak kuat, buruan!" Ujar Dennis panik. "Sen, kalau gak keluar-keluar, gue terpaksa lari ke rumah Babeh Rahmat, nih."

"YA UDAH KE SANA AJA!"

"Ih buruan sih, Sen, ini gue juga gak kuat," Yoga ikut-ikut memegang perutnya sambil meringis. Kalau Jhordan gak lagi kabur dari sini, pasti dia juga ikut mengantri di belakang Yoga, atau mungkin dia akan menyerobot antrian dengan semena-mena.

Jhordan tidur di mana, dah. Udah makan apa belum tuh bocah. Mending kalau dia pulang ke rumahnya, seenggaknya walaupun dia gak berinteraksi sedikit pun dengan bapaknya, di sana Jhordan gak akan mati kelaparan. Tapi sekarang? Telepon gue gak diangkat, chat-chat gue hanya berakhir dalam tanda 'read'. Ah elah, ke mana sih si Jhordan ini?

"Heh-heh, mau ke mana lo?" Tanya gue pada Brian yang keluar kamar tiba-tiba dan melangkahkan kakinya menuju ke kamar mandi.

"Ada siapa di dalem?"

"Cakka," jawab gue. "Lo sakit perut juga?"

"Iya, sakit banget," jawab Brian, meringis juga. "Ka, buruan deh, gue sakit perut!"

Gue mengernyit melihat seisi kos menjadi heboh berebut kamar mandi. Lah, kenapa pada sakit perut semua, sih? Seinget gue, setelah makan malam kemarin semua anak langsung tidur. Yang jelas sih, tadi pagi gue bener-bener sakit perut karena gue makan makanan yang cukup pedas saat malam, tapi mereka? Nasi goreng gak akan bikin mereka tiba-tiba jadi mules kayak gitu, kan?

Tadi malam, rencananya Yoga akan memasak untuk kita semua—kebetulan karena besoknya pun akan libur, tetapi rencananya berubah ketika tiba-tiba Dennis yang baru pulang dari masjid membawa sekantong nasi goreng. Kata Dennis, anak Babeh Rahmat sedang pulang dari rantauannya, dan Babeh pun akhirnya memberikan sekantong makanan tersebut, sekalian membelikan untuk anaknya.

RêverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang