Secret
Can you be my
Safe-Secret-Deposit-Box?
S e n a
Tiiin! Tiiin! Tiiiin!
"Eh buset berisik amat, sih! Tengah malem anjir, tar tetangga sebelah pada ngamuk! Siapa sih?" Suara itu membuat gue mengerjap-ngerjapkan mata.
Iya, lo benar. Yang membangunkan gue bukan suara klakson mobil yang berbunyi dua kali sedetik, tapi suara teriakan Jhordan disertai dengan gerakannya yang melempar bantal ke arah pintu kamar. Bego emang. Yang ribut di luar, yang dilempar pintu kamar. Ya mana orangnya tahu, ya.
Daripada menambah keributan, gue bangkit dari tempat tidur dan segera menuju ke bawah. Feeling gue mengatakan itu Brian yang baru pulang dengan mobil Bang Yoga yang dia pinjam dengan semena-mena tadi.
Butuh waktu beberapa menit untuk gue sampai di bawah dan membuka pintu. Hujan tampak membasahi bumi dengan malu-malu, menimbulkan aroma khas yang memasuki penciuman gue. Di balik kemudi, Brian menelungkupkan wajahnya, membuat ekspresinya sulit gue lihat. Brian tidak semanja itu untuk meminta dibukakan pagar ketika dia sendiri yang salah sudah pulang terlalu malam.
Tapi mungkin gue mengerti, mungkin itu tentang cewek itu. Chila. Kenapa sih teman-teman gue ini sangat lemah ketika berhadapan dengan cewek-ceweknya? Bang Ijul, Brian, Bang Yoga, Jhordan, mereka semua sama saja.
"Dari mana aja lo?" Tanya gue, bertepatan dengan ia membuka pintu mobilnya. Tidak bermaksud menginterogasi—karena apa yang dia lakukan adalah hal pribadinya—tapi gue hanya ingin tahu sebagai seorang teman yang sejak tadi menunggunya pulang.
Brian hanya menghela napas, kemudian berjalan lurus tanpa menghiraukan pertanyaan gue. Langkahnya yang sudah sampai ke pintu terhenti. Ada Bunga di sana, satu meter dari tempatnya berdiri. "Sialan lo!" umpat Brian, tidak terlalu keras karena akhirnya dia berlalu tanpa melakukan hal-hal menakutkan pada Bunga.
Bunga yang berada di hadapannya—sekaligus sekarang berada di hadapan gue—tampak terkesima sebelum akhirnya mengembalikan ekspresinya. "Dia....kenapa?" Tanya Bunga, sebelah tangannya memegang secangkir kopi susu hangat, sebelahnya lagi memegang pulpen.
Gue mengangkat bahu, "Lo bikin salah kali sama dia. Dia gak biasanya kayak gitu kecuali soal Chila," jawab gue datar. "Kali aja lo bikin masalah sama ceweknya." Gue menghela napas, meninggalkan Bunga yang masih memandang gue dengan tatapan bertanya.
"Kayanya kehadiran gue di sini bikin kalian banyak masalah, ya?"
Langkah gue yang baru mencapai tangga terhenti. Ingin rasanya gue berkata 'Nah tuh lo tahu, kan?'. Tapi memang semua ini salah Bunga? Bukan. Siapa sih yang mau keadaan seperti ini terjadi?
Kalau gue jadi dia pun, mungkin gue udah frustasi dan menyerah dengan semua ini. Terlebih dia perempuan, pangkatnya masih sangat rendah, dan pengalamannya masih sedikit. Lebih pantas kalau gue menyalahkan atasannya untuk menempatkan dia di kasus seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rêver
Aktuelle LiteraturYou're invited to: Maison de rêve, rumah mimpi. Tujuh orang pemuda dengan tujuh mimpi yang berbeda datang ke sebuah rumah sederhana berwarna biru milik seorang laki-laki paruh baya. Rumah itu kosong dan sepi, tapi akhirnya menjadi rumah penuh warna...