Untitled
If I can only once
See you
It's okay if I lose everything of mine
--G-dragon-Untitled—
D e n n i s
Langit sudah berubah menjadi hitam kelam ketika gue melangkahkan kaki keluar dari ruang dosen. Angin bertiup semakin kencang dan udara dingin kian menusuk sampai ke tulang. Gue gak bohong kalau kampus di malam hari ini cukup menakutkan. Gue bisa menggambarkannya seperti di film-film horor sebenarnya, tapi gak ah, nanti gue parno sendiri lagi.
Wajar sih, ini sudah hampir tengah malam. Siapa juga yang masih mau berkeliaran di kampus minim lampu di jam-jam seperti ini. Dan gue bukannya seberdedikasi itu untuk Pak Rayan, tapi ini memang sudah tugas gue sebagai asisten dosen untuk menilai dan memeriksa beberapa tugas yang diberikan Pak Rayan kepada mahasiswa.
Entah karena kebetulan atau memang hari ini adalah salah satu hari gue yang jauh dari kata beruntung, gue harus pulang tengah malam karena ternyata Pak Rayan menumpuk tugas-tugas mahasiswa itu selama berhari-hari—tanpa memberitahukannya kepada gue tentunya—padahal nilai tugas tersebut harus sudah masuk ke pusat besok. Alhasil, gue tertahan di sini selama hampir lima jam, berkutat dengan kertas dan juga laptop yang lama-lama membuat kepala gue pusing.
Dan agak sialnya lagi—gue gak mau menyebut sebuah hari dengan sial sepenuhnya, karena paling tidak ada pelajaran yang bisa diambil dari setiap hari yang dilewati—gak ada satu pun teman kos yang hari ini pulang telat. Kabarnya sih, karena mau UAS, beberapa kegiatan mereka dihentikan.
"Gimana, Dennis? Sudah selesai semua?"
"Alhamdulillah, sudah, Pak," jawab gue di telepon sambil memandangi sekeliling gue. "Saya sudah kirim e-mail rekapitulasi nilainya ke Bapak. Sekarang saya sudah mau pulang."
"Hohoho, begitu. Terima kasih ya, Nak," jawab Pak Rayan dengan nada gembira. "Oh iya, hati-hati loh di sana suka serem kalau sudah malam. Hohoho. Ya sudah, saya tutup dulu."
Tut. Tut. Tut.
Gue geleng-geleng kepala sendiri. Dulu gue pikir Pak Rayan adalah dosen yang galak dan pelit nilai. Untuk poin kedua memang benar, tapi ternyata Pak Rayan gak segalak yang gue kira. Bahkan bisa dibilang kalau Pak Rayan adalah orang yang receh. Beliau mudah tertawa oleh hal-hal kecil dan tawanya itu loh....berat dan khas. Berkat hal itu, dari jarak seratus meter pun gue sudah dapat mengenali beliau walaupun tidak melihatnya langsung.
Akhirnya gue memutuskan untuk berjalan ke arah parkiran mobil yang sudah sangat sepi. Jaraknya sebenarnya gak terlalu jauh, tapi karena gelap dan semilir angin membuat bulu kuduk gue berdiri, gue agak sedikit takut dan mempercepat langkah gue.
Tetapi langkah gue terhenti secara refleks setelah telinga gue menangkap suara denting piano dari arah ruang UKM. Gue kira di sini sudah gak ada orang? Gak mungkin ini yang disebut seram oleh Pak Rayan, kan?
Semakin gue mendekat, suara denting piano itu terdengar semakin jelas. Gue agaknya tidak mau berasumsi berlebihan, sehingga gue berakhir mengintip dari jendela UKM Seni Musik hanya untuk mendapati seorang perempuan duduk di depan piano dan membelakangi gue.
Karena kurang kelihatan—gue bukannya ingin mengintip berlebihan, gue hanya penasaran karena permainan pianonya somehow mengingatkan gue pada Papa—gue bergeser ke jendela lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rêver
General FictionYou're invited to: Maison de rêve, rumah mimpi. Tujuh orang pemuda dengan tujuh mimpi yang berbeda datang ke sebuah rumah sederhana berwarna biru milik seorang laki-laki paruh baya. Rumah itu kosong dan sepi, tapi akhirnya menjadi rumah penuh warna...