Unless
The truth is, unless you let go,unless you forgive yourself, unless you forgive the situation, unless you realize that the situation is over,you cannot move forward.
Y o g a
"Bang, ini," Cakka muncul dari balik pintu kamar, kemudian tangannya menyerahkan sebuah benda dengan kantong kresek berwarna kuning. Beberapa saat gue termangu, membiarkan kenangan gue yang cukup sedikit memasuki pikiran gue.
"Dari siapa?"
"Yang jelas bukan dari Kak Ditas," Cakka tersenyum sinis. "Ini dari gue. Lo udah bikin uang jajan gue berkurang karena ini." Cakka masuk ke dalam kamar dan menaruh kotak itu di atas meja belajar gue—tepatnya di samping kanan gue, membuat gue memperhatikannya beberapa saat.
"Jangan bilang lo lagi berharap yang kasih beneran Kak Ditas,"
Bingo. Sepertinya gue sudah mengajarkan adik kecil gue untuk benar-benar pintar seperti ini.
Cakka berdecak, "Cowok emang gitu ya, Bang? Baru merasakan sesuatu ketika orangnya sudah benar-benar pergi? Dulu selalu aja bilang, gue gak perlu sok-sokan bilang kalau barang ini dari Kak Ditas lah, gue gak perlu berhubungan sama dia lagi lah, eh sekarang, lo malah berharap kayak gitu."
Gue menghela napas tanpa membalas perkataan Cakka.
"Nyesel ya, Bang?"
"Berisik lo."
Cakka terkekeh. "Makanya, kalau masih ada jangan disia-siain." Cakka kemudian berjalan keluar kamar dengan santai, meninggalkan gue dan sejuta pikiran yang bergelayut dalam kepala gue.
Gue gak bisa bilang kalau Cakka salah, karena kenyataannya memang dia yang benar dan gue yang salah. Tapi rasanya gue gak pernah mengajarkan adik gue untuk berkata kejam dan menohok seperti itu pada kakaknya sendiri?
"Ka," panggil gue, membuat dia berhenti berjalan dan menoleh. "Lo bener-bener gak tahu Ditas di mana?" Pertanyaan yang sudah sekian lama gak bisa gue keluarkan—mungkin nyangkut di tenggorokan gue saking gengsinya gue untuk menanyakan hal tersebut—akhirnya bisa terkeluarkan.
Cakka mengedikkan bahunya. "I don't know. Semenjak putus sama lo, dia gak pernah chat gue lagi. Bahkan walau gue chat duluan pun dia gak membalas seperti dulu." Jawabnya tanpa menoleh "Mungkin lo membuat luka sedalam itu sampai dia gak mau muncul lagi di kehidupan kita. Maksud gue, di kehidupan lo, Bang."
Cakka berlalu begitu saja. Tapi, perkataannya gak berlalu secepat itu. Cakka mungkin harusnya lahir lebih dulu daripada gue. Melihat dari perkataannya yang seperti itu, dia sudah layak disandingkan dengan pujangga-pujangga cinta zaman dahulu.
Tangan gue bergerak ke arah kotak itu. Apalagi kalau bukan lip balm? Cakka pasti sudah tahu saat-saat gue membutuhkannya. Dua hari lagi gue lomba. Hanya Cakka dan Ditas yang tahu kalau gue bisa sangat pede berbicara di depan umum jika menggunakan lip balm ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rêver
Ficción GeneralYou're invited to: Maison de rêve, rumah mimpi. Tujuh orang pemuda dengan tujuh mimpi yang berbeda datang ke sebuah rumah sederhana berwarna biru milik seorang laki-laki paruh baya. Rumah itu kosong dan sepi, tapi akhirnya menjadi rumah penuh warna...