Rêver 28 - Sena - Re-Hi

177 19 29
                                    

'Cause you feel like home

You're like a dream come true

Let me photograph you in this light,

In case it is the last time.

Adele – When We Were Young

B e n i n g

Fakultas gue yang gak pernah sepi sekarang menuju kebalikannya. Orang-orang yang sudah menyelesaikan Ujian Akhir Semester satu persatu mulai meninggalkan kegiatannya di kampus. Sudut-sudut tertentu memang masih ada yang ramai, entah karena mereka gak ingin pulang, atau memang ada urusan yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Siang ini gue duduk di sudut kantin yang sepi, bersama Hara yang tengah mengaduk-aduk mie instan yang dia pesan beberapa saat lalu. Gak ada percakapan yang dimulai di antara kita. Gue—Bening yang kata Kak Jhordan bacot banget—bahkan gak berniat untuk membuka percakapan tersebut.

Namun, setelah sepuluh menit berlalu dan teh manis hangat yang gue pesan mulai mendingin, sebuah suara masuk ke dalam telinga gue.

"Bening," dengan suaranya yang khas, dia memanggil dan mengangkat kepalanya untuk menatap gue. "Lo menunggu gue selama itu...kenapa?"

Gue tersentak, gak mengira pertanyaan itu akan keluar dari seorang Hara setelah hari-hari kemarin kita lalui dengan biasa saja. Dia bahkan gak menyinggung soal itu sebelumnya. "Memangnya kenapa kalau gue nunggu Kak Nandhi?"

"Maka seharusnya lo gak membuat gue menunggu jawaban lo."

"Kak—"

"Rasanya aneh, lo menunggu orang bertahun-tahun, tapi lo butuh berpikir sebegini lama hanya untuk menjawab perasaan orang yang menginvasi pikiran lo selama itu," Hara tertawa. "Gue gak mungkin ditolak, kan?" Tanyanya, mungkin setengah bercanda.

Gue hanya tersenyum simpul, "Kenapa lo waktu itu tiba-tiba pergi dari rumah?"

Rumah yang gue maksud tentu saja panti asuhan tempat kita tinggal bersama. Sebuah panti asuhan yang dulu tidak begitu besar namun terasa hangat. Gue tumbuh baik di sana. Gue bisa menjadi seorang Bening karena gue pernah menginjakkan kaki di tempat itu.

"Gue juga gak ngerti," jawab Hara, lalu ia menghela napas panjang. "Yang gue tahu, hari itu, Bu Mirah bilang kalau akan ada orang yang bertemu gue. Hari itu juga, detik itu juga, dia langsung membawa gue."

"Orang itu gak bilang akan mengadopsi lo, Kak," ujar gue pelan. "Bu Mirah cari lo kemana-mana, gue juga. Belakangan ini gue tahu kalau orang yang mengadopsi lo adalah orang yang...maaf, gak baik. Udah terhitung banyak banget kejahatan yang dia lakukan sejak sepuluh tahun lalu."

"Lo...tahu dari mana soal papa gue itu?"

"Kak Jhordan."

Hara menganggu-angguk, mulutnya mengerucut. "Oh, Jhordan. Papa gue memang gak baik, tapi bukan berarti selama mengurus gue pun dia seperti itu. Dia membesarkan gue dengan baik, dan akhir-akhir ini gue memberontak, gue baru merasa kalau ternyata...dia memang sejahat itu."

"Lo gak penasaran?"

"Penasaran tentang apa?"

"Tentang....kenapa Pak Ardhi tiba-tiba membawa lo hari itu? Rasanya aneh aja. Buat apa? Gak seharusnya dia melakukan itu kalau gak ada sesuatu yang membuat dia buru-buru," terang gue.

"Gue sangat penasaran, asal lo tahu. Tapi gue gak tahu harus memulai dari mana," jawab Hara lagi, ia kemudian menyeruput kuah mie-nya.

Gue berdeham, "Beberapa hari lalu gue pergi ke panti asuhan kita. Buat ketemu Bu Mirah dan anak-anak lainnya. Gue sempat mengobrol banyak hal dengan Bu Mirah, tentang gue...dan tentang lo. Gue bercerita pada Bu Mirah kalau gue sudah menemukan lo."

RêverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang