Truth
The truth will
Set you free
Y o g a
"Dih, ngelamun mulu," Sena dengan laptop di tangannya tersenyum miring, lalu menoyor gue. Ia naik melalui sandaran sofa, lalu meloncat begitu saja sampai posisi duduknya berada di sebelah gue. "Katanya udah bahagia. Dari kemarin sombonggg banget perasaan tuh."
Gue hanya tersenyum beberapa saat, meliriknya, dan kembali berlayar dalam kehidupan dunia maya gue. Sena menaikkan alisnya, kemudian mendekatkan mukanya pada gue. "Bang? Kok gak bales noyor? Beneran kenapa-kenapa, ya?"
Gue menghela napas, "Ya gimana, ya."
"Ya, gimana?"
"Ya gitu."
"Ck, gak jelas banget lo," Sena akhirnya tak acuh dan kembali fokus pada laptop-nya. Tapi, gue salah gak ya kalau cerita sama ini bocah? Takutnya gue malah diketawain lagi. "Ngomong aja, Bang jangan ditahan-tahan. Lo ngambil pringles gue, ya? Ngaku gak?"
Gue mendelik, "Heh, bukan, ya! Gue gak suka yang begituan. Itu pasti kerjaan si Jhordan atau Brian!" Gue mengelak dengan sempurna walaupun Sena malah mencibir. "Sen, menurut lo, Ditas bakal masih mau sama gue gak, ya?"
"Apa lagi nih? Galau apa lagi? Ck, gak beres-beres dah galaunya. Lo mendingan ikut Uya Kuya aja sana!" Sena mendengus kesal, berkomentar panjang lebar tanpa menatap gue. Jari-jarinya dengan cepat berlarian di atas keyboard laptopnya. Pasti banyak kerjaan. Gak jadi deh gue cerita. "Lo merasa gak pantes lagi buat dia?"
"Hm, iya."
"Setelah semua ini? Setelah lo bahkan dekat banget sama orang tua Kak Ditas karena lo mengunjungi rumah mereka hampir setiap Minggu?"
"Iya."
Sena menaruh laptopnya cukup keras di atas meja, hingga gue meringis, takut laptopnya rusak dan dia menyalahkan gue. Ia kemudian mengganti arah duduknya agar berhadapan dengan gue. "Kali ini apalagi masalahnya?"
"Lo tahu, kan. Hampir semua masalah yang kita hadapi di sini terungkap," gue meletakkan handphone gue dan menyilangkan tangan di dada sambil bersandar di sofa. Mata gue menatap langit-langit yang...ada cicaknya. Gak penting, sih. Tapi mengganggu pemandangan gue aja. "Pusatnya ada di perusahaan Adikusuma. Jadi, kalau semuanya udah selesai diurus, segalanya bakal kembali ke awal. Termasuk keluarga Ditas. Dia akan kembali ke Ditas yang dulu."
"Kata siapa?"
"Kata gue barusan!"
"Berdasarkan apa lo ngomong gitu?"
"Logika."
Sena menghembuskan napasnya. Mungkin dia kesal dengan gue, tapi perasaan gue memang serumit itu. Gue selalu mempertimbangkan banyak hal sampai-sampai selalu banyak pikiran aneh yang muncul dalam kepala gue. Ah, dasar overthinker.
"Itu bukan logika," Sena menyela, kemudian menyentakkan kepalanya untuk lebih menatap gue. "Itu asumsi. Dan asumsi lo hanya berdasarkan perasaan yang gak berdasar. Lo bisa sebut itu logika kalau...secara matematis lo bisa memperhitungkan persen kebenarannya."
Gue mencibir, "Widih, gile,"
"Gak suka gue sama Bang Yoga yang ngomongnya dikit-dikit kayak gini," Sena kembali mengambil laptopnya. "Satu, itu serasa bukan lo. Dua, gue takut lo berubah."
Gue menaikkan alis, kini giliran gue yang menatapnya dengan serius. Sena sepertinya tahu, tapi ia pura-pura tidak peduli. Sena ini sama seperti Jhordan. Kadang dia terlihat seperti anak kecil yang butuh perhatian, kadang juga terlihat seperti orang dewasa yang berwibawa dan membuat gue dan Julian merasa kalau kita sedikit lebih muda dari mereka. Dan kini, Sena menunjukkan sisi di antara keduanya. "Emang kalau berubah kenapa? Everyone changes."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rêver
General FictionYou're invited to: Maison de rêve, rumah mimpi. Tujuh orang pemuda dengan tujuh mimpi yang berbeda datang ke sebuah rumah sederhana berwarna biru milik seorang laki-laki paruh baya. Rumah itu kosong dan sepi, tapi akhirnya menjadi rumah penuh warna...