Rêver 7 - Cakka & Dennis - Aneh

159 21 38
                                    

Kosong

Bukankah langit kosong tetapi isi?

Dan bukankah hatimu penuh dengan isi tetapi kosong?

--Sapardi Djoko Damono--


C a k k a

"Ka? Lo udah tidur belum?" Pintu kamar gue digedor pelan oleh seseorang. Mendengar suara lembutnya, sepertinya itu Bang Dennis. "Cakka? Ya udah kalau lo udah tidur gak apa-apa."

Mata gue mengerjap, lalu menyalakan handphone dan mendapati jam masih menunjukkan pukul satu pagi. Perlahan-lahan gue mengangkat kepala gue yang sangat pusing dari meja belajar. Gue ketiduran lagi, padahal hari ini adalah empat puluh hari menuju ujian yang katanya paling menakutkan bagi anak-anak kedokteran.

Dengan mata setengah mengantuk, gue memegang gagang pintu dan membukanya, mendapati Bang Dennis masih mondar-mandir bingung di depan kamar gue. "Ada apa, Bang? Tumben udah bangun, biasanya bangun jam tiga?"

Bang Dennis nyengir, "Maaf ya ganggu, Ka."

"Selo, Bang. Gue jadi bangun dan bisa belajar lagi..."

"Jhordan udah balik," jawabnya pelan seakan tidak ingin terdengar oleh penghuni maison de rêve yang lainnya. Kemudian dia menghela napas dan menyenderkan punggungnya ke dinding. "Terus dia ngurung diri di kamar, Ka. Gue pikir tadi ada maling yang masuk, soalnya kayak kesusahan buka pintu gitu."

Gue mengernyitkan dahi, mencoba berpikir. "Mungkin kita ajak ngobrol pagi nanti aja, Bang? Kayaknya Bang Jhordan juga butuh istirahat, atau gak mau ngomong dulu sama kita."

"Masalahnya di kaki dan tangannya banyak banget luka, Ka. Gue gak tega kalau ngebiarin itu sampai pagi," ujar Bang Dennis, kini nada bicaranya sedikit panik. "Gimana, dong?" Matanya kini menatap gue penuh harap, padahal gue gak mengerti jawaban apa yang diharapkan oleh Bang Dennis.

Mendengar itu, gue pun sedikit banyak panik. Walaupun gue terbilang jarang ngobrol dengan Bang Jhordan—karena gue takut—gue sangat-sangat tahu bahwa Bang Jhordan adalah orang yang sangat baik. Jika dia menyakiti dirinya seperti itu, mungkin masalah yang kemarin kita bicarakan adalah masalah yang sangat-sangat serius untuk dia.

Bang Jhordan mungkin cuma dua hari gak balik ke sini, tapi selama dua hari itu Bang Jhordan pasti mengalami perang batin tentang apa yang seharusnya dia lakukan. Kadang, gue sering merasa kasihan pada orang yang sebenarnya banyak masalah dalam hidupnya, tetapi berusaha menutupinya. Menurut gue itu lebih sakit dua kali lipat dibandingkan orang yang mudah cerita mengenai masalah hidupnya.

Dan sejujurnya, gue baru tahu masalah Bang Jhordan kemarin—saat kita semua sengaja berkumpul di ruang tengah. Siapa yang gak kaget dengan masalah serumit itu? Gue aja yang hanya sering diteror oleh cewek aneh di kampus udah kelabakan, apalagi harus bergelut sama masa lalu seperti itu?

Ya, diam-diam gue bersyukur gue gak sering galau kayak Bang Yoga atau Bang Ijul, dan gak punya masalah yang rumit sama keluarga gue—kecuali kalau gak sengaja berantem sama Bang Yoga karena masalah Kak Ditas.

"Ya udah, kita ke kamarnya aja apa, ya? Pelan-pelan, jangan sampai Bang Sena bangun, nanti dia heboh sendiri, terus semuanya ikut bangun, deh," ajak gue pada Bang Dennis yang disambut dengan anggukan setuju. "Cakka ambil kotak obat dulu ya, Bang. Abang coba ketuk dulu deh pintunya."

"Gak ah, lo aja, Ka. Gue takut."

"Ya Cakka lebih takut, Bang. Bang Dennis aja duluan."

"Lo aja deh, Ka. Kalau dia ngamuk terus ngebanting pintu gimana?"

RêverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang