Rêver 11 - Dennis & Nous - Tamu

162 22 17
                                    


Come

Let things come and go

The things that are meant to stay,will stay


D e n n i s

"Kok gue baru tahu sih, No?" Tanya gue sambil memasang muka yang begitu penasaran—tapi sejujurnya, gue memang penasaran. Sementara itu Nino—teman mengobrol akrab gue sepulang dari masjid—itu mengangguk-angguk.

"Memang gak ada yang aneh, jadi gue gak pernah cerita sama lo, Den," jawab Nino. Kasus yang beberapa hari kemarin terjadi—tentang Rajasa Lukas, anak teknik tersebut—masih menjadi perbincangan hangat di banyak kalangan, mulai dari anak-anak kos, ibu-ibu gosip, sampai bapak-bapak yang nongkrong di warung kopi. "Pokoknya hari itu tempat kos gue biasa aja, sebelum akhirnya Emak teriak-teriak histeris gitu."

"Jadi yang huni lantai atas emang cuma Raja, ya?"

"Ngg—iya," jawab Nino. "Kayaknya lo udah tahu juga kalau dia anak orang kaya? Tiga kamar di lantai atas dia embat jadi satu," terang Nino sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gue jadi ingin pindah tempat kos deh."

"Nah, pindah ke tempat gue aja, No. Lagian masih ada kamar kosong di bawah satu!"

"Tapi kasian Emak Ratna, lagian tempat kos itu udah paling murah di antara tempat-tempat lainnya," Nino mendengus. "Seandainya aja gue orang kaya."

"Gak boleh gitu, No," gue menepuk-nepuk pundaknya. "Bersyukur aja lo masih bisa bertahan hidup sampai sekarang. Ngomong-ngomong, kenapa polisi-polisi di sana langsung yakin kalau itu pembunuhan?"

Nino mengernyitkan dahinya, mencoba mengumpulkan informasi-informasi yang dia dapatkan. "Dia gantung diri, tapi gak ada kursi atau apa pun yang ditemuin. Kalau gak salah sih gitu. Kan aneh juga kalau dia benar-benar gantung diri, pasti ada benda buat bantu dia naik, kan?"

"Jadi di ruangan itu benar-benar gak ada kursi?"

"Ada. Tapi di sudut ruangan dia. Kalaupun iya itu yang dipakai, pasti ada orang yang mindahin," ujar Nino. "Den, bisa gak, gak usah ngomongin ini lagi? Gue ngeri," Nino bergidik, kemudian setelah sadar sudah sampai di depan tempat kosnya yang terasa semakin horor, dia berhenti. "Doakan hari ini gue bisa tidur tenang."

Gue mengangguk-angguk. Kemudian, dengan kecepatan tinggi, Nino berlari ke arah kamar kosnya. Kasihan penghuni dan pemilik tempat kos ini, mereka jadi ketakutan dan gak bisa tidur.

Gue menghela napas dan segera melangkahkan kaki menuju tempat kos gue, pasti orang-orang sudah menunggu—karena tadi mereka titip nasi goreng di perempatan menuju masjid. Giliran diajak ke masjid aja gak ada yang mau ikut, eh pas gue berangkat, mereka malah titip nasi goreng, banyak pula, pake uang gue pula.

"IMAM KITA UDAH DATENG! GUYS, NASI GORENG, NASI GORENG!" Bang Julian yang sedang mengerjakan tugasnya di ruang tengah mendadak meloncat-loncat dan menaruh laptopnya sembarangan. Sementara itu, anak-anak lainnya yang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing langsung muncul. "Asik-asik!"

Semenjak kejadian tiga hari lalu, anak-anak gak pernah pulang lebih dari jam delapan malam. Mereka akan sudah duduk manis di tempatnya masing-masing. Sena dengan senang hati mengerjakan tugasnya tanpa begadang, jam tidur Jhordan bertambah, Brian dan Bang Yoga memulai pergosipannya lebih awal, Bang Julian juga mulai menggarap skripsinya dengan tekad lulus-tiga-setengah-tahun, dan Cakka mengurung diri di kamarnya seperti biasa.

Kalau gue sendiri sih memang biasanya pulang jam segitu, kalau mereka...mungkin mereka takut. Agak geli juga membayangkan kalau mereka yang biasanya mengejek gue karena gak bisa pulang tengah malam, kini mereka sendiri yang sangat parno dengan hal-hal yang terjadi di sekitar.

RêverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang