Can't see the end
I ran all the way from the start without rest, but why
Where did my usual self go? What am I chasing after every day?
I pray every day that it won't be a lie when I say I'm ok
But why are the expectations so high?
I wipe away the bursting tears
I think of my family and dream once again--Can't see the end/ Space—Seventeen--
B r i a n
Berdiam diri di kosan sendirian disertai hujan petir yang mengagetkan bukan gue yang biasanya. Bukan kita yang biasanya, tepatnya. Karena libur akhir semester yang cukup panjang, anak-anak memutuskan untuk pulang ke rumahnya masing-masing, kecuali Bang Yoga yang masih menunggu Cakka selesai ujian. Gue heran sebenarnya, tuh bocah ujian paling duluan, tapi selesai paling lama. Kalau gue jadi dia, udah gue bakar tuh fakultas.
Lucu gak sih? Gue tuh cuma diem di atas sofa, mau nyalain televisi tapi takut meledak—mohon maaf nih gue pas kecil diajarin untuk gak nonton TV pas hujan dengan alasan demikian, terus gue kaget sendiri setiap ada suara geledek, padahal gak cuma satu dua kali, tapi tetap aja bikin kaget mulu. Alhasil gue pasti loncat sedikit tiap ada bunyi mengagetkan itu.
Biasanya sih, kalau lagi banyak orang, kita bakalan duduk di sini sambil makan mie rebus plus telor dan cabe rawit, terus ketawa-ketawa membicarakan kehidupan yang sulit ini, mantap banget gak tuh? Tapi berhubung gue sendirian dan gue mager—plus takut, gue gak melakukan apa-apa. Lagian mau ketawa-ketawa sama siapa? Bisa dikira gila gue sama Babeh Rahmat.
Tapi nih ada kabar baiknya, katanya sih, mereka semua bakal balik malam ini karena lusa Bang Julian bakalan tampil. Iya, dia dan pasangan barunya di teater besar itu—yang gue gak tahu itu siapa, yang jelas bukan mantannya—akhirnya berhasil menuntaskan segala tetek bengek soal latihan. Dan saking hebohnya Bang Yoga, dia nyuruh kita semua kumpul malam ini buat fitting baju yang bakal dipakai buat nonton Bang Ijul. Beuh, dikira mau ke kondangan apa pakai samaan segala?
"What's up, Bro! Gue sudah kembali," Bang Julian muncul tiba-tiba dan membuka pintu tanpa aba-aba membuat gue menoleh kaget. Gue kira itu maling. Tapi kalau maling kayak Bang Ijul lucu juga, ya? Sebelas dua belas sama tuyul. Eh anjir, mulut gue tuh kenapa, sih. "Sepi amat," lanjutnya.
"Emang, kalau kita gak bersama tuh rasanya aneh. Gak ada salah satu dari kita aja aneh, apalagi kalau banyak yang gak ada kayak gini, kosong banget."
Bang Ijul menaikkan alisnya, "Heee kenapa lo? Melankolis banget. Malam ini juga bakalan pada dateng lagi. Nitip martabak, dong. Punten tolong chat Dennis."
"Dari sekian banyak orang yang bakal dateng kenapa harus Dennis?"
"Soalnya yang baik cuma dia, yang lain pasti marah-marah kalau gue titipin. Apalagi si Jhordan. Bisa-bisa martabaknya udah dia kasih racun lagi," jawab Bang Ijul cepat. "Gue masuk kamar dulu, ya. Pengen tidur."
"O—"
"Ah iya, nih undangan. Sebelum kalian masuk ke teaternya, kalian harus tunjukin undangan ini. Kalian semua gue kasih jatah dua, ya," potongnya sambil menghampiri meja ruang tamu dan menaruh beberapa undangan di atasnya. Selanjutnya, Bang Julian benar-benar menghilang dari balik pintu kamarnya.
Gue mengambil salah satu undangan yang sudah tercetak dengan tulisan dan desain yang apik, kemudian menertawakan diri sendiri. Gue mau datang sama siapa memangnya? Gak butuh dua undangan gue.
Pikiran gue yang sedang berkelana tiba-tiba tertuju pada sosok Chila. Saat dia lewat di kepala gue begitu aja, gue sampai hampir tahan napas. Tapi menyadari hal itu gak berpengaruh apa-apa, gue melenguh, kembali menaruh punggung pada senderan sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rêver
Fiksi UmumYou're invited to: Maison de rêve, rumah mimpi. Tujuh orang pemuda dengan tujuh mimpi yang berbeda datang ke sebuah rumah sederhana berwarna biru milik seorang laki-laki paruh baya. Rumah itu kosong dan sepi, tapi akhirnya menjadi rumah penuh warna...