Slow
Take it slow
And let time heal everything
A l e t a
Dari sekian ribu orang yang ada di kampus ini, mungkin hanya satu-dua orang yang mengenal saya. Bukan karena mereka gak mau kenal lebih jauh dengan saya, tetapi, saya sendiri yang tidak ingin dikenali mereka terlalu jauh. Semakin orang tahu seluk beluk tentang saya, maka semakin besar juga kemungkinan mereka untuk berada dalam code blue.
Saya terlalu takut untuk ditinggalkan, tetapi saya lebih takut kalau orang-orang yang mengenal saya terlalu jauh akan membahayakan diri mereka sendiri. Saya punya rahasia besar, yang tersimpan rapi di dalam memori saya. Terkadang saya mengingatnya, terkadang tidak.
Dan dari sekian banyak mahasiswa psikologi yang berlalu lalang di depan saya, hanya satu orang yang mengetahui rahasia saya sekaligus mengingatnya—bahkan ketika saya melupakannya. Dia akan selalu jadi orang yang berada di samping saya, tidak peduli apa pun yang terjadi. Dia rela dirinya berada dalam bahaya hanya demi saya seorang. Dia rela menjadi siapa pun yang saya butuhkan ketika saya bahkan tidak mempunyai siapa-siapa.
Namanya Raisa. Saya lebih suka memanggilnya Icha. Walaupun saya gak tahu kebaikan apa yang pernah saya berikan kepada Icha, Icha selalu bilang kalau dia tidak akan pernah meninggalkan saya. Kalau dibilang bersyukur, perasaan saya mempunyai Icha di samping saya lebih dari itu. Saat ini, dia dinobatkan menjadi satu-satunya orang yang boleh memasuki kehidupan saya sebegitu jauhnya—selain Bunda tentunya.
"Aleta! Arah jam sembilan," perempuan dengan kuncir kuda itu berlari menghampiri saya dan melingkarkan tangannya di bahu saya. Matanya mengerling genit ke arah yang ditunjuknya. Beberapa saat saya terkesiap, hingga menimbulkan rona merah di kedua pipi.
Laki-laki itu tengah memegang bukunya, duduk di bawah kursi yang bernaung sebuah pohon besar. Matanya cukup sipit, namun sorotnya hangat. Kulitnya putih dan wajahnya selalu tersenyum. Melihatnya seperti ini saja sudah membuat saya deg-degan setengah mati.
"Heh, malah bengong. Itu kan kecengan lo," Icha menepuk bahu saya pelan, mendorong saya untuk berjalan ke arah sana.
Saya menghela napas, "Terus saya harus ngapain? Kamu kan paling tahu kalau saya gak bisa dekat-dekat sama orang lain." Jawab saya dengan nada yang semakin lemah. "Lagipula terakhir saya ngobrol sama dia, saya udah gak kuat. Takut pingsan."
Icha berdecak, "Rumit juga ya lo kalau jatuh cinta. Tapi kalau lo kayak gini terus, dia gak akan sadar akan keberadaan lo. Sia-sia dong waktu itu gue berdrama ria biar lo bisa nebeng sama dia?"
"Saya kan udah bilang, seharusnya kamu gak melakukan itu."
Icha mengedikkan bahunya, "Yah, I don't care. Gue merasa kalau dia lebih kenal sama lo, dia gak akan menjauh, justru dia mau menerima lo apa adanya. Cowok kayak dia itu....idaman banget, Ta!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rêver
General FictionYou're invited to: Maison de rêve, rumah mimpi. Tujuh orang pemuda dengan tujuh mimpi yang berbeda datang ke sebuah rumah sederhana berwarna biru milik seorang laki-laki paruh baya. Rumah itu kosong dan sepi, tapi akhirnya menjadi rumah penuh warna...