I'm OK
Silence means, "Please be happy"
Tears mean, "I truly loved you"...
Don't worry about me
You don't have to mind about me
--iKON--
S e n a
"Sen! Lo apa-apaan, sih? Sejak kapan lo jadi sok tahu kaya gini?" Cewek itu-yang sudah siap dengan seragamnya-mendengus kesal, kemudian memegangi kepalanya sambil mondar-mandir. "Lo kan bisa sembunyi, telepon gue kek, atau-"
Gue menghela napas sabar, kemudian menatap matanya tajam, "Lo coba aja ke sana sendiri. Gue bukan sok tahu, gue cuma mau temen-temen gue selamat, udah cuma itu."
"Iya, gue ngerti. Tapi gara-gara lo, tempat itu sekarang kosong. Lo meninggalkan tempat itu begitu saja setelah bikin keributan, lo pikir mereka gak curiga? Udah bagus lo ke sana-"
"Terus mau lo gue ngapain? Berantem sama mereka satu-satu? Gue buka tuh gerbangnya terus gue acak-acakin tempatnya, iya? Yang ada bukan mereka yang ketakutan, tapi kita yang bakal mati," gue mendengus kesal, lagi.
Ketika gue memutuskan sesuatu yang sudah gue pertimbangkan matang-matang tapi ini cewek gak ada terima kasihnya sama sekali, gue jadi merasa gak dihargai. "Sebenarnya tujuan lo jadi polisi apa, sih? Lo ingin menangkap ratusan penjahat dan lo bangga akan itu?" Gue berjalan mendekati Bunga, kemudian memegang bahunya hanya untuk menatapnya tajam. "Polisi itu ada untuk mengayomi masyarakat, kalau lo mau nangkap orang tanpa peduli sama keselamatan warga lo, lo mending jadi gangster aja. Tingkat kepuasan lo itu harusnya lebih dimanusiawikan."
Gue berjalan melewati dia menuju ke dalam kamar. Kepala gue pusing banget, asli. Beberapa jam lagi gue akan masuk kuliah dan badan gue belum beristirahat sama sekali. Jhordan dan Dennis yang sejak tadi hanya menonton perdebatan gue dan Bunga akhirnya ikut naik ke atas.
Tadi Jhordan hampir saja ikut berdebat dengan gue dan Bunga, tapi gue tahan. Kalau Jhordan udah marah, bisa mati kutu Bunga. Walaupun gue juga kesal dengan semua omongan dia yang seakan meremehkan perjuangan gue dan teman-teman gue beberapa jam lalu, dia perempuan. Dan gue gak suka lihat perempuan dibentak.
"Sen, lo gak usah pikirin yang tadi kata Bunga," Jhordan nongol dan bersandar di kusen pintu, pandangannya tertuju ke arah gue yang sedang duduk di tepi tempat tidur. "Keputusan lo bener. Gue selalu percaya sama lo. Lo mungkin kehilangan mereka, tapi lo gak kehilangan kita. Dan gue berterima kasih untuk hal itu."
"Sama-sama," gue tersenyum tulus. "Makasih udah percaya sama gue. Lo istirahat, Dan. Bentar lagi kita kuliah."
Jhordan manggut-manggut, tersenyum singkat, kemudian beranjak menuju ke dalam kamarnya. Gue sangat mengerti kalau Bunga ingin menjadikan hari ini sebagai hari bersejarah untuk dia karena berhasil menemukan organisasi pembunuh yang sangat ditakuti masyarakat kalangan atas. Tapi dia terlalu ambisius tanpa memikirkan yang lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rêver
General FictionYou're invited to: Maison de rêve, rumah mimpi. Tujuh orang pemuda dengan tujuh mimpi yang berbeda datang ke sebuah rumah sederhana berwarna biru milik seorang laki-laki paruh baya. Rumah itu kosong dan sepi, tapi akhirnya menjadi rumah penuh warna...