Kamu bilang jeda di antara kita ini akan selamanya
Tapi bagiku tidak
Bahkan jika koma akan sebegini panjang,
Aku akan tetap termangu
Menunggu kamu tersenyum dari balik malam syahdu
Berharap titik tidak akan bertamu
--Jhordan—
J h o r d a n
"Mau ke mana, Bang?" Tanya gue saat Bang Yoga keluar dari kamarnya dengan parfum yang kayaknya dia tumpahin semua ke badannya. Dijamin dari jarak seratus meter, wanginya bakal udah kecium.
Gak deng, lebay.
"Biasa," dia nyengir, kemudian beranjak ke arah tempat dia menaruh kunci mobil, "Ngedate dong, mumpung udah libur juga." Ujarnya sambil menggoyang-goyangkan kunci mobilnya. Sombong amat orang ini.
"Bukannya pulang, kasian tuh orang tua Abang nungguin di rumah,"
"Dih bilang aja iri," dia berlalu begitu saja sambil mencibir. Gak lama kemudian, suara mobilnya terdengar menjauhi kosan.
Gue melenguh, menatap televisi tanpa minat. Tangan gue memegang remote sambil memindah-mindahkannya tanpa tujuan. Kenapa, ya, manusia ini selalu gak bersyukur.
Gue maksudnya.
Ketika kuliah lagi padat-padatnya, gue mengeluh karena kegiatan yang ada hampir membuat badan gue remuk. Sekarang ketika seluruh ujian udah beres, gue malah gak tahu mau ngapain dan merindukan kegiatan-kegiatan gue yang hampir gak ada istirahatnya.
Handphone gue bergetar dan gue bergegas melihat nama yang terpampang di layar.
Bunga is calling...
Lah, kaget gue. Ada apa ini?
For your information, di sini cuma Bang Julian doang yang gak tahu nomor telepon Bunga. Mampus. Rasain. Pengen ketawa gue rasanya, tapi jahat banget ya. Tapi ini memang Bunga yang minta, walaupun akhirnya gue jadi gak enak sendiri. Dia memang belum berangkat—rencananya dia mau pergi ke New York untuk belajar—dan sekarang masih bolak balik di sekitar pulau Jawa untuk menyelesaikan beberapa urusannya.
"Oit, kenapa?" Ujar gue dengan mata yang masih menatap televisi.
"Kayaknya lo udah tahu, sih."
"Apaan sih ngomong tuh mesti tanpa mukadimah banget, ya? Apanya yang gue udah tahu?"
"Soal lo dan orang tua lo. Lo udah tahu?"
Gue terdiam beberapa saat, "Pembunuh ibu gue?"
Terdengar suara helaan napas dari seberang sana, "Iya. Dia..."
"Gue udah tahu, polisi itu udah menyampaikan pesan lo," gue menyela pelan, lalu kemudian melanjutkan. "Gue melakukan beberapa riset kecil, dan ya, akhirnya gue sampai pada suatu kesimpulan. Gue tahu dia siapa."
"Sketsa arsip polisi sepuluh tahun yang lalu itu, lo udah bisa menyimpulkan? Gimana ceritanya? Lo kenal sama orang di sketsa itu?" Tanya Bunga bertubi-tubi, "Orang itu...orang yang sama dengan yang membunuh Papa gue. Dia siapa?"
Gue beranjak dari sofa, menaiki tangga untuk menuju kamar gue dan menciptakan keheningan beberapa saat. Lalu, setelah mata gue terpaku pada sebuah buku, gue melanjutkan, "Gue...mungkin seharusnya kenal."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rêver
General FictionYou're invited to: Maison de rêve, rumah mimpi. Tujuh orang pemuda dengan tujuh mimpi yang berbeda datang ke sebuah rumah sederhana berwarna biru milik seorang laki-laki paruh baya. Rumah itu kosong dan sepi, tapi akhirnya menjadi rumah penuh warna...