Rêver 5 - Jhordan & Brian - Berlari dan Menunggu

133 20 16
                                    

Jangan

Jangan sengaja pergi agar dicari,
Jangan sengaja berlari agar dikejar,
Berjuang tak sebercanda itu.

Jangan baru mencari saat sudah terlanjur pergi,

Jangan baru mengejar saat sudah jauh berlari,
Menurutmu bagaimana?
Menurutku, menunggu tidak seasyik itu.

J h o r d a n

Bagi sebagian orang, rumah adalah tempat kembali. Orang-orang senang berjuang mati-matian, agar saat ia kembali, rumah akan menerimanya dengan senang hati. Mereka juga ingin segalanya cepat selesai dengan sempurna, agar mereka bisa kembali ke rumah secepat mungkin. Apa lo juga begitu? Gimana rasanya punya rumah untuk pulang?

Semenjak gue ditakdirkan untuk tinggal berdua dengan Bapak di rumah, rumah itu gak bisa lagi gue sebut rumah. Selama hampir delapan tahun gue tinggal di sana—berdua—Bapak gak pernah mengeluarkan satu kata pun setiap berhadapan dengan gue, pun begitu juga dengan gue. Ada sesuatu yang salah antara gue dan Bapak, tetapi itu hanya terkaan yang akhirnya menuju pada salah sangka.

Lalu, ketika gue merasa gak nyaman dengan itu semua, gue memilih untuk tinggal di luar rumah, berusaha mencari 'rumah' lain. Usia SMP, gue lebih sering tinggal di rumah nenek, kemudian pada usia SMA gue lebih sering tinggal di rumah bude. Tapi, selama itu pula, gue gak bisa menemukan rumah yang gue cari.

Sampai pada suatu saat, ketika gue—si anak nakal ini—berusaha untuk gak tinggal berdua dengan orang yang terus mendiamkan gue selama bertahun-tahun, gue menemukan sebuah rumah dengan cat warna biru yang saat itu baru ditinggali oleh tiga orang—Sena, Brian, dan Bang Ijul. Pada awalnya memang terasa aneh, tinggal di satu rumah dengan laki-laki seumuran gue yang berisik tiada tara, ketika biasanya di sekitar gue hanyalah keheningan.

Kemudian, satu per satu orang datang, mulai dari Bang Yoga, hingga adiknya yang baru masuk ke rumah ini beberapa bulan yang lalu. Sedikit demi sedikit, akhirnya gue tahu bagaimana karakter mereka. Walaupun pada dasarnya gue gak seperhatian Bang Yoga atau sepeduli Sena, gue sebenarnya tahu. Tahu apa yang mereka gak suka, tahu apa yang akan mereka lakukan ketika bosan, tahu apa yang ingin mereka capai di masa-masa ini, karena sebenarnya gue sangat peduli dengan mereka.

Gue peduli karena akhirnya gue menemukan sebuah keluarga di sini. Gue menemukan sebuah rumah di sini. Rumah yang benar-benar tempat gue kembali. Bukan berarti gue gak sayang Bapak, tapi buat apa gue terus berdiam di sana ketika tidak ada interaksi di antara kita berdua?

Gue senang ketika Brian berteriak, "Woy ini si Jhordan panas banget badannya gimana, dong?" Lalu kemudian Sena yang gak pernah naik motor gede terpaksa menggunakan motor itu untuk membeli obat di apotek. Lalu, Bang Yoga dengan kemampuan memasaknya berusaha untuk membuat bubur terenak buat gue. Dennis dan Cakka dengan telatennya selalu bergantian mengompres gue agar suhu badan gue turun. Dan terakhir, Bang Ijul yang dengan paniknya mondar-mandir di depan kamar gue hanya untuk melihat gue memakan bubur buatan Bang Yoga.

Rasanya geli banget kalau gue bilang gue sayang mereka, tapi memang begitu kenyataannya. Gue—yang sudah bepergian terlalu jauh untuk mencari sebuah rumah—akhirnya menemukan 'rumah' karena mereka.

"Katanya si Jhordan udah punya gebetan, emang iya?" Tanya Bang Ijul sambil menyalakan TV di ruang tengah. Matanya meyusuri satu per satu orang yang berada di sana.

Sontak semua mata mengarah pada gue yang membuat gue gelagapan, "Hah? Apa dah?"

Selanjutnya yang gue dengar adalah tawa menyebalkan keluar dari mulut seorang Sena, "Iya tuh ada. Kerjaannya diikutin aja terus setiap hari. Semoga deh cepet-cepet jadian," ujarnya, kemudian tertawa lagi.

RêverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang