Loneliness
Loneliness,
is a fire,
which I hold close to my skin,
to see how much pain I can stand,
before running to the water
--Atticus--B r i a n
Gue tersenyum sambil menatap kotak hitam pipih yang sedari tadi gue tempatkan tepat di depan muka gue. Tangan gue bergerak-gerak sok asyik. Sejujurnya, bersamaan dengan pergerakan gue tadi, ada sesuatu dalam hati gue yang tertahan, pun begitu di pelupuk mata gue—gue ingin menangis, gak salah lagi. Bukan karena gue secengeng itu kuota gue habis untuk video call, tenang saja, di sini ada wifi yang berjalan dua puluh empat jam khusus untuk mahasiswa kampus ini.
"Abang! Kapan mau pulang?" Tanya adik gue—Hisyam—sambil memamerkan gigi-giginya yang dua tahun lalu masih ompong. Walaupun mereka lahir dan dibesarkan di Aceh, bahasa sehari-hari yang mereka gunakan tetap Bahasa Indonesia. Ya, wajar saja, di keluarga gue, hanya abu yang biasa berbahasa melayu, mamak adalah orang Jawa, dan mereka akan berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia.
Walapun gak jarang Bang Ijul dan Sena meledek gue, "Yan, kok lo ngomong gak kayak Upin-Ipin, sih?" Tanya Sena. Selanjutnya mereka cekikikan sendiri ketika Bang Ijul bertanya, "Sen, lo tau kagak angkatan darat di sana disebutnya apa?"
"Apa emang, Bang?"
"Laskar hentak-hentak bumi," selanjutnya tawa Bang Ijul yang tengil menyertai.
"Hahaha anjir! Udah kayak lagu TK, 'Siapa yang senang hati tepuk tangan? Siapa yang senang hati hentak bumi?' Lu suka kayak gitu gak, Bang, dulu?" Tanya Sena balik. Dia tertawa-tawa sampai muncul rona-rona merah di wajahnya.
"Aing gak pernah TK masa,"
"Heuu pantesan gak bisa baca!"
"Mana adaaa? Masa gue kuliah kagak bisa baca!" Bang Julian menoyor Sena yang tetap diakhiri dengan tawa-tawa itu. "Lagi, Sen, lagi, bahasa melayunya merayap apa?"
"Apa, Bang?" Tanya Sena bingung.
"Bersetubuh dengan bumi!"
"Demi apa?" Sena bengong sesaat kemudian dia tertawa-tawa lagi. Sementara itu gue hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika dua bocah gede itu menertawakan bahasa daerah gue. Kurang ajar, ya. Bisa gue laporin ke bapak presiden, terus nanti mereka diangkat menjadi duta bahasa.
Ya gitu, kan?
Kadang gue berpikir juga, Indonesia ini memang aneh. Ketika negara lain menghasilkan duta-duta dari lulusan perguruan tinggi bergengsi, Indonesia malah menjadikan seseorang yang melakukan kesalahan sebagai duta. Terus lagi, fenomena-fenomena di Indonesia tuh kadang gak masuk akal buat gue, masa orang main tiktok yang gue pikir gak ada faedahnya sama sekali bisa terkenal? Sementara gue? Gue yang melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat tetap aja gak dikenal. Pindah ke mars gue lama-lama.
Tapi bagaimana pun, Indonesia adalah tempat gue lahir dan dibesarkan. Maka, gue harus cinta Indonesia. Apalagi sekarang gue ada di Bandung. Kalau kata Bang Ijul, Bandung itu diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum. Siapa tahu gue juga bisa tersenyum terus kan kalau gue tinggal di Bandung?
Sayangnya gue belum punya alasan untuk tersenyum.
Hehe.
Alah, jijik banget gue.
"Bang!"
Suara dari handphone gue kembali membawa gue ke alam sadar. Kenapa gue jadi mikirin si Sena sama Bang Ijul sih. "Kamu maunya Abang pulang kapan?" Tanya gue. Dijawab dengan kening yang berkerut dari dahi Hisyam, "Kalau Abang bisa pulang aja, yang penting Hisyam bisa lihat Abang setiap hari!" Jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rêver
Genel KurguYou're invited to: Maison de rêve, rumah mimpi. Tujuh orang pemuda dengan tujuh mimpi yang berbeda datang ke sebuah rumah sederhana berwarna biru milik seorang laki-laki paruh baya. Rumah itu kosong dan sepi, tapi akhirnya menjadi rumah penuh warna...