Nothing
I felt so much,
That I started to feel nothing
Y o g a
Laki-laki berjas hitam itu diam beberapa saat, tatapannya penuh kemarahan. Walaupun begitu, ia tidak melakukan apa-apa selain mengepalkan tangannya diam-diam. Kalau boleh dibilang, matanya seperti memancarkan kilatan-kilatan jahat, tapi lebih tepat jika dikatakan kalau itu sulit didefinisikan.
Sulit menebak bagaimana yang dirasakan laki-laki itu sebenarnya, karena setelahnya—tanpa berkata apa pun—ia tertawa mencibir, menarik lengan putrinya cepat dan berjalan menjauhi gue dan teman-teman gue. Meninggalkan kita, hanya untuk melihat punggungnya menjauh.
Kalau iya memang benar dia sejahat itu, hidup Julian memang ternyata sangat berat. Apa mungkin, mimpi dia waktu itu berhubungan dengan orang ini? Ah, gue gak tahu. Mau berhubungan atau enggak, gue sekarang bersyukur karena Julian sudah putus dengan Oryza. Gue gak tahu apa jadinya kalau mereka tetap sama-sama sampai sekarang. Mungkin, Julian akan lebih menderita dari pada sekarang?
Atau mungkin enggak.
Karena seburuk apa pun hidup lo bersama seseorang, lo akan menganggapnya baik-baik saja—atau mungkin menyenangkan—jika itu bersama orang yang lo cintai. Ya, semua orang punya persepsi rasa masing-masing. Buat gue mungkin buruk, tapi gue gak tahu apa persepsi rasa Julian soal ini.
"Gue—"
"Dan, jangan pingsan. Lo berat banget, tolong."
"Gue tadi ngomong apa anjir?!" Jhordan memegangi dadanya kaget, tidak percaya dengan apa yang sudah dilakukannya. "Ini...gue gak akan dikeluarin dari fakultas gara-gara ini, kan?"
Sena menepuk bahu Jhordan, "Kayaknya....iya. Tapi lo keren juga tadi. Ternyata lo lebih memilih Bang Ijul selamat dibandingkan diri lo sendiri. Mantap, Bro. Lo gue angkat jadi kepala suku sekarang."
"Ah, bodo amat anjir sama kepala suku. Gue udah mau kehabisan napas ini!"
Julian nyengir, "Sorry, hehehe. Gue terharu banget aduh, ingin nangis gue. Tapi inget aja, Allah selalu bersama orang-orang yang benar, kok. Percaya gue. Ya, kan, Den?"
Dennis mengangguk-angguk setuju, ia melemparkan senyuman ke arah Jhordan. "Iya, Dan, tenang aja. Kalaupun lo dikeluarin, nanti pasti Allah kasih yang lebih baik. Kan bukannya lo suka males kuliah kan selama ini? Lo sering berdoa kalau setiap hari gak ada kelas. Mungkin ini adalah jawaban doa lo selama ini, Dan."
"YEEE GAK GITU JUGAA! Ah tapi bodo amat lah, pokoknya kalau gue dikeluarin, gue bisa demo ke rektor dan membongkar semuanya. Dan lu pada harus ikut memperjuangkan hak-hak gue!"
Gue menoyor kepala Jhordan, "Buset dah gaya lu!"
"Tapi berarti mantan Bang Ijul tuh kakaknya Nandhi?" Sena mengerutkan dahi, matanya bertransformasi ke arah Jhordan dengan cepat. Yang ditatap malah terkaget-kaget, mencoba berpikir, tapi otak dia sepertinya sedang kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rêver
General FictionYou're invited to: Maison de rêve, rumah mimpi. Tujuh orang pemuda dengan tujuh mimpi yang berbeda datang ke sebuah rumah sederhana berwarna biru milik seorang laki-laki paruh baya. Rumah itu kosong dan sepi, tapi akhirnya menjadi rumah penuh warna...