CHAPTER 22

8K 512 38
                                    

22. Satu masalah,  'terpecahkan' .

"Seharusnya aku tidak punya rasa itu. Bukan. Melainkan tak seharusnya rasa itu kembali. Khawatir. "

• • • • •


"Yah,  Are you okay? "  tanya Eliza sekali lagi,  kepada seseorang yang terbaring lemah di kasur berlatar putih itu.

Lelaki paruh baya itu mengangguk pelan,  seolah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.  Padahal kondisinya kini jauh dari kata baik-baik saja.

Tubuhnya tergolek tak bertenaga. Garis wajahnya tak lagi nampak keras layaknya biasa. Stark Robert,  menghela napas keras.  Seakan pikirannya larut-terlarut dalam sesuatu.

Tak lama ia angkat suara, "apa kau melihat Elisa?"

Eliza langsung menoleh,  memutar bola mata dengan sinis,  lalu menjawab malas,  "tidak. Mungkin dia gak tau Ayah lagi di Rumah Sakit. Gak usah peduli sama dia."

Stark terbatuk pelan. Tangannya mengusap dadanya sendiri dengan gerakan lambat.

Stark memalingkan wajahnya, menatap jendela yang menyajikan hamparan kota metropolitan ini.

Di hatinya yang terdalam,  ia tak sanggup membendung rindunya pada anak gadisnya itu.

Sudah hampir 6 bulan dia pergi.
Apa kehidupannya baik-baik saja?
Apa Elisa makan dengan benar?
Apa Elisa tidak kesulitan?
Apa Elisa bisa beradaptasi?
Apa Elisa tidur dengan nyenyak?
Apa Elisa tidak kekurangan uang?
Apa Elisa... dapat tersenyum tanpa ada dirinya?

Tanpa sadar,  Stark tersenyum perih. Di benaknya selalu muncul sejuta pertanyaan tentang Elisa. Pertanyaan yang bahkan tak mampu disuarakannya.

Ternyata memang benar, adanya karma Tuhan. Di saat dirinya sakit seperti ini, lelaki itu baru sadar bahwa dirinya telah membuat dosa besar atas dasar emosi dan pikiran pendeknya.

Dan jika dia bisa memutar ulang waktu, dia ingin agar keluarganya kembali 'hangat'.

Dan dengan seluruh perasaannya yang kini bercampur, ada rasa yang paling mendominasi. Paling menohok hatinya.

Dia benar-benar menyesali ini semua.

***

"Menurutmu, apa kita harus membawa paksa Elisa ke sini?" tanya Azriel yang sedari tadi memperhatikan itu semua lewat celah pintu.

"Aku setuju.  Kamu liat aja kondisi Ayah yang setiap harinya terus mencari Elisa.  Tapi,  masalahnya adalah... apa Elisa mau melihat orang yang berkali-kali membuatnya sakit hati,  Zriel?" Ucap Arka dengan bahu yang lemas.

Azriel terdiam.

Dia tahu bahwa hal itu sulit untuk dilakukan. Ditambah lagi Elisa itu keras kepala.

Entah kenapa Azriel menjadi pening hanya dengan memikirkan itu.

"Azriel,  setidaknya kita harus berbicara dengan Elisa tentang ini. Ini juga sebagai perwujudan kita yang membantu Ayah," Arka kembali membuka suara.

Dear, My Family  (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang