"A-ayah? "
***
"Dasar anak—" baru saja Stark ingin mengumpat, mendadak ia terdiam.
Elisa menaikkan alis, heran.
Biasanya Ayahnya akan langsung mengumpat begitu melihat wajahnya yang memuakkan—bagi Ayahnya ini.
Stark menatap lama anak ketiganya itu. Sebelum akhirnya beranjak dan duduk di pinggir kasur queen size putih itu.
"Kau tahu? Kau sudah mengubah pandanganku. Setelah kau pergi dari sini, aku menemukan sesuatu. Kau bisa tebak?"
Elisa kian tak mengerti.
"Poetry."
Elisa melotot, ia gelagapan. Baru saja gadis itu membuka mulut, sekali lagi ia teringat janjinya.
Fyi, puisi yang ditemukan Ayahnya itu, berisi tentang Ayahnya. Semua puisi yang dia buat selalu buat Ayahnya. Semua perlombaan puisi yang dia menangkan selalu berkisah untuk Ayahnya.
Kemungkinan besar keluarga ini sudah menemukan piala dan sertifikat yang Elisa menangkan. Of Course, semua itu Elisa sembunyikan.
Ia meletakkannya di bawah tempat tidur (untuk puisi), dan di ruang rahasia tepat di bawah puisi itu terdapat peti. Di situ Elisa menyimpan segala-galanya dari keluarganya, namun tentang keluarganya.
Mata Elisa bergerak ke tiap inchi ranjangnya.
"Sudah tentu aku menemukan rahasiamu di bawah sini." Smirk Ayahnya ke luar. "Kau tahu bukan, aku sendiri yang mendesain rumah ini."
Elisa kicep.
Gadis itu semakin rapat menutup mulut.
"Perlu aku tunjukan?" Stark menyeringai jahil.
"Tidak!" Sialan! Tanpa sadar, secara spontan Elisa membuka mulutnya.
Stark membulatkan mata, bibirnya berkedut, dan tak lama hadirlah suara tawa.
Suara tawa Stark yang muncul ke permukaan setelah sekian lama.
Entah kenapa, Elisa bahagia sekaligus kesal.
Kesal mendengar tawa ngakak yang mengganggu itu_-
Entah sengaja atau tidak, tangan besar Stark mengusap pelan surai Elisa. Elisa sampai dibuat takjub akan itu.
Namun, setelah sadar akan hal itu, Stark langsung berdehem. Dan perlahan menurunkan tangannya.
"Hanya aku. Aku yang berhasil membuatmu bicara." Ucap Stark tersenyum.
"Elisa."
Deg! Setelah sekian lama. Setelah bertahun-tahun. Nada suara itu akhirnya muncul. Jikalau bisa, Elisa ingin menghentikan waktu tuk menangis sekencang mungkin dengan Stark yang menjadi patung.
Jikalau bisa Elisa ingin memutar waktu itu terus. Waktu dimana nada lembut Stark ditujukan untuknya.
Jikalau bisa Elisa ingin memeluk Stark. Memeluk Ayahnya dengan erat.
Namun, apalah daya. Gengsi, benci, kesal, rasa itu berpadu kembali. Menyisakan tangan Elisa yang meremas kuat sprei kasurnya.
"Kau mau aku peluk, Elisa?" itu tawaran bukan? Namun, sebelum Elisa sempat menjawab, tubuhnya sudah tertarik.
Ia merasakan rasa aman dan hangat. Rasa yang sebelumnya tak pernah Elisa ingat terakhir kali. Rasa yang membuatnya merasa jadi anak.
Tuhan, kalau aku bisa menukar waktu dengan nyawaku, aku ingin mereka semua memelukku. Memelukku dengan erat seperti dulu
Walau nantinya jika itu berakhir aku akan terjatuh, mati. Batin Elisa.Kelopak matanya tertutup. Menyisakan embun-embun yanh perlahan turun dari mata indah itu. Elisa tersenyum sembari menangis.
Menyadari anaknya menangis, Stark mengusap kepala Elisa pelan. Ia tak tahu bagaimana mengusapnya dengan lembut.
Tangan Elisa perlahan naik lalu membalas pelukan Stark dengan erat. Tangannya meremas pelas kemeja biru yang dikenakan Ayahnya.
Rasa ini. Rasa ini. Rasa ini.
Perlahan, tangisan Elisa bersamaan dengan suaranya. Elisa menepati janji. Menangis kencang untuk yang pertama kalinya di depan keluarganya.
Tangisannya begitu pilu dan menyesakkan. Ia terus berharap dalam hati, andai ini semua terjadi sedari dulu. Bukan sekarang.
Elisa lalu merasakan pelukannya mengerat, yang tak ubah malah membuatnya menangis kian kencang.
Ia tak mau tahu. Ia tak mau lihat. Dan ia tak ingin sadar bahwa sedari tadi keluarganya melihatnya sedari tadi.
Ibunya ikut menangis mendengar tangisan itu.
Ya ampun, begitu besar dosaku hingga tangis Elisa terasa begitu menyesakkan.
Arka dan Azriel mau tak mau memalingkan wajah. Tak mau larut dalam kesedihan itu, walau salah seorang kakak beradik itu telah menitikkan airmata.
Mereka memilih pergi untuk menenangkan diri. Sekaligus menjauhkan diri dari suara tangis Elisa yang membuat tubuh mereka penuh akan rasa bersalah.
"A-yah." Elisa sesengukkan, kini meremas kuat baju Stark.
Bahu Stark bergetar. Ia benar-benar bersalah. Anaknya begitu merindukannya.
Ia hanyalah bedebah. Bedebah bahkan mungkin lebih baik karena mereka pasti tidak menyakiti anaknya.
Ia mungkin sampah.
Ia adalah Ayah gagal.
Ia benar-benar gagal. Seorang Ayah harusnya menjaga, bukan menyakiti.
Pandangan mata Stark kian tertunduk bersamaan wajahnya yang telungkup di bahu rapuh Elisa.
Ayah bodoh.
Dalam ruangan gelap temaram itu hanya bisa diisi oleh tangisan. Dan dipenuhi oleh rasa bersalah.
***
To Be Continued...
A/N
Holla, pa kabar? Sorry banget udah ga up smpe sebulanan gini.
Penjelasan singkat nih, sejak awal Januari aku daj disibukin ma OSIS. Belum lagi program English Ountdoor Learning.
Dan baru bisa selesai akhir Januari. Belum lagi ngejar tugas, gara-gara ketinggalan.
Btw, entah kenapa aku rasa Chapter ini yang paling sedih. So saaaad:(
Jangan tanya kenapa pendek, sebab sebelum dan sesudah Chapter ini hanya akan berisi satu-per satu Keluarga Elisa. Dan kumpulan Flashback tentunya. #SpoilerModeOn
Btw, sorry for Typo. And i hope u can enjoy this Chapter.
See yuuuuuuh,
Aldia_Fn
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, My Family (REVISI)
Tienerfictie#1 HighestRankofGelap's Story PLAGIATOR DILARANG MENDEKAT. WARNING : HATI-HATI! EMOSI JADI CAMPUR ADUK KEK NASI CAMPUR *Eh, AKIBAT MEMBACA CERITA INI. STORY : Dear, My Family Story By : Aldia_Fn Amazing Cover by : Tezzyy- *.*.* Dibenci tanpa tahu se...