XV

74 8 0
                                    

"Playstation"

◻⬜⬜⬜⬜⬜⬜⬜⬜⬜⬜◻

"Apa kau puas Taylor? Kau mencuri waktu mainku dengan teman-teman! Mom terus-terusan menelponku, memintaku pulang cepat untuk mengurusmu yang katanya 'sakit', tapi kau tak terliat sakit. Kau malah asik bermain playstation dengan Joe. Kalau tahu begitu lebih baik aku tak usah pulang dan terus bermain" dumal Austin sesaat setelah membuka pintu rumah.

Joe dan Taylor sampai menghentikan permainan mereka karena mendengar Austin mendumal tak jelas.

"Kenapa kau marah? Kalau kau tak mau mengurusku, kenapa tak kau kembali saja bermain bersama teman-temanmu!" Taylor tak mau kalah meskipun ia masih berbaring.

"Teman-temanku marah karena aku terlalu cepat pergi, mereka tak akan mau menerimaku jika aku pergi dan kembali seenaknya. Tapi aku tetap tak terima Taylor, kau menganggu waktu mainku!" Austin menghampiri sofa tempat Taylor berbaring dan berdiri dihadapannya.

"Kenapa kau tak suruh Gigi saja untuk pulang?" protes Taylor, ia terlihat tak ingin disalahkan.

"Gigi ada kelas tambahan karena terlalu sering membolos, Gigi sama sepertimu, pembohong!" marah Austin.

Taylor terlihat kesal karena kata terakhir yang Austin ucapkan. Ia tak terima dikatakan pembohong, ia benar-benar sakit hati. Joe diujung sana hanya bisa memperhatikan perdebatan kakak beradik tersebut sambil berjaga jika sesuatu terjadi. Matanya jeli meski ia tak bangun dari duduknya.

Taylor menyingkirkan selimut yang melapisinya. Ia mencoba berdiri meskipun butuh sekuat tenaga untuk melakukannya. Kini tingginya menyamai Austin.

"Aku bukan pembohong Austin, aku tak terima jika adik kandungku sendiri berkata seperti itu! Sekarang minta maaf padaku Austin" suruh Taylor. Ia berusaha menahan posisinya meski sejujurnya ia masih tak kuat berdiri lama-lama.

Austin menggeleng. "Tak akan!"

"Kau..." Taylor berusaha menahan emosinya sebelum benar-benar meledak.

Joe yang awalnya hanya memperhatikan kali ini mulai bertindak, ia menengahi perkelahian Austin dan Taylor.

"Sudah Taylor. Austin masih remaja, ia masih labil dan emosinya masih belum bisa di kontrol. Untuk saat ini kumohon padamu, bersikaplah lebih dewasa dari Austin, oke!" Joe menatap Taylor dengan lekat. Berusaha menenangkan wanitanya tersebut. Taylor menurut dan segera kembali duduk di sofa tanpa menghiraukan Austin sedikitpun.

Setelah memastikan Taylor tenang, Joe berbalik ke arah Austin. Ia mengusap-usap pundak Austin untuk menenangkannya. Joe tiba-tiba mendekatkan mulutnya ke telinga Austin, ia berkata dengan berbisik. "Jangan salahkan Taylor karena waktu mainmu berkurang Austin, dan jangan lagi pedulikan teman mainmu itu sekarang. Kau tahu? Patrick sedang bermain playstation sendirian dirumah, dia pasti akan senang kalau punya lawan bermain!"

Tepat saat Joe selesai berkata, wajah Austin langsung berbinar-binar. Ia tersenyum kearah Joe dan mengatakan terima kasih sebelum berlari menuju pintu belakang menuju rumah Joe.

Taylor yang tak mendengar apa yang Joe dan Austin bicarakan hanya bisa mengangkat sebelah alisnya, saat adiknya tersebut tiba-tiba berlari ke belakang rumah.

Pandangan Taylor berubah ke arah Joe, menuntut penjelasan dari laki-laki dihadapannya tersebut. Joe membalas tatapan Taylor dan mengedipkan sebelah matanya.

"Yang aku katakan kepada Austin tidak penting Lor. Yang terpenting saat ini adalah, aku akan mengalahkanmu di level selanjutnya!!" teriak Joe dengan antusias sambil kembali memulai game yang mereka pause.

Taylor kaget saat melihat tingkah Joe yang tiba-tiba memulai kembali game. Karenanya, ia jadi tak fokus dan kalah oleh Joe.

"Curang kau Joe!!" teriak Taylor jengkel.

Joe melirik Taylor dan tersenyum meledek. "Aku tak akan curang! Kau saja yang tak bisa bermain. Ayo kalahkan aku di level selanjutnya, kalau kau bisa mengalahkanku, aku akan mentraktirmu martabak manis! Bagaimana?" tantang Joe dengan nada meremehkan.

Taylor membalas Joe dengan wajah sombongnya. "Baiklah, siap-siap saja uang jajanmu habis karena mentraktirku!" Taylor menerima tantangan Joe.

"Tak akan!" Joe menanggapi.

Meski hanya game memancing, mereka terlihat menikmati permainan. Mereka menyelesaikan level dengan sangat cepat. Sesekali keduanya tertawa saat ada hal tak terduga yang lucu terjadi dalam game.

Terlebih lagi, saingan mereka terlihat seimbang. Mereka bertanding dengan sangat sengit. Mereka terlihat serius, walau sesekali mereka becanda untuk mencairkan suasana.

Sakitnya Taylor seketika hilang. Ia merasa segar kembali sejak kedatangan Joe. Baginya, Joe seakan memberikan aura positif sebagai obat paling manjur untuk sakitnya. Ia senang bisa memiliki teman seperti Joe. Meski kadang menyebalkan, bagi Taylor, Joe adalah satu-satunya orang yang perhatian dan sayang kepadanya. Taylor bisa sangat yakin merasakan itu saat mata biru Joe menatapnya.

 Taylor bisa sangat yakin merasakan itu saat mata biru Joe menatapnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
detective TaylorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang