Prolog

21.2K 741 2
                                    

Jingga milik senja mulai lenyap. Di gantikan sang rembulan yang tersenyum manis. Memancarkan cahaya benderang di langit malam. Hitam, kelabu namun tenang. Tak ada suara sekalipun. Lilin-lilin berjajar di sepanjang meja panjang.

Sajian malam telah rapi di atas meja. Namun orang-orang hanya diam. Tak ada yang bicara. Garpu dan sendok mulai bertalu. Beradu nyaring dalam gendang telinga.

"Apa kamu yakin set?", Suara wanita paruh baya menggema diantara ruang makan.

"Ma, kan sudah saya bilang. Apapun yang terjadi saya tetap akan bertugas di perbatasan. Ini sebuah kebanggaan, negara sedang memanggil saya", kata laki-laki bermata tajam.

Wanita itu menghela nafas. Anak laki-laki satu-satunya memang sangat keras kepala. Sulit sekali meyakinkannya. Memang sebuah kebanggan ketika anaknya menjadi seorang prajurit negara. Namun sebagai seorang ibu pasti ada kekhawatiran dalam benaknya ketika tugas negara meminta anaknya.

"Sudahlah Ma, anak kita akan mengikuti jejak Papanya", kata laki-laki paruh baya di ujung meja. Rambutnya telah memutih namun senyumnya masih terlihat sangat gagah.

Sebersit senyum terlintas di bibir setya. Ayahnya memang selalu mendukung cita-cita mulianya sebagai seorang abdi negara. Bahkan ayahnya yang juga menginginkan agar Setya menjadi seorang prajurit sepertinya. Tak ayal semua yang di butuhkan setya pasti selalu di turuti ayahnya.

Berbeda dengan sudut pandangan ibu yang selalu mengkhawatirkan putranya. Sebenarnya putra keluarga itu bukan hanya setya. Namun ada satu orang putra lain di keluarga itu.

"Aaaaaa..!! Aaaa..!! Aaaa!!"

Suara teriakan yang menggema dari lantai dua terdengar ribut. Pecahan barang yang terdengar menambah gemuruh. Pengak, penging, membuat orang yang mendengarnya sakit kepala. Teriakan itu semakin keras dan menjadi-jadi.

"Ya Allah, Galih!!", Kata Bu Yuni yang seketika itu lari ke lantai dua. Di ikuti Setya dan pak Tomo.

Setya yang pertama kali datang ke tempat itu. Barang-barang di kamar Galih telah berserakan. Para abdi rumah kewalahan menghadapi putra bungsu keluarga itu. Galih terus meraung. Menangis dan terus berteriak.

Bukan tanpa alasan Galih meraung, menangis bahkan berteriak. Dia memang bukan anak kecil lagi. Usianya menginjak 16 tahun. Tapi sayangnya, Tuhan mengujinya melalui mental. Dia tidak gila hanya saja Tuhan begitu mencintainya. Tuhan tau bahwa ujian terberat manusia adalah kenikmatan duniawi yang di beri-Nya.

Tuhan tidak menitipkan pendengaran, tidak pula menitipkan penglihatan, tidak juga menitipkan suara. Ya, Galih adalah satu dari sekian banyak manusia beruntung di dunia. Ia tak memiliki semua itu, maka berkurang lah dosa-dosanya. Ia buta, tuli dan bisu sejak usianya 3 tahun. Itu sebabnya ia tak pernah mengenal siapapun.

Setya mendekatinya. Perlahan-lahan ia memeluk tubuh Galih. Namun tubuh yang lebih kecil dari tubuhnya itu meronta. Entah apa yang di inginkan Galih. Ia mengamuk dan terus mengamuk.

"Galih ini Kakak! Galih dengar ini Kakak!", Teriak Setya. Berharap sang adik mau mendengarkannya dan diam. Tapi itu mustahil.

Hampir, semuanya hampir menyerah. Namun tidak bagi naluri seorang ibu. Perlahan bu Yuni mendekati Galih. Ikut memeluknya dari depan. Air matanya menetes pada bahu putranya yang kini lebih tinggi darinya.

Galih terdiam. Ia diam seketika. Bu Yuni membawanya duduk. Masih memeluknya erat-erat. Tak sadar Setya menangis. Dalam sosoknya yang keras, ada seorang Setya yang amat penyayang. Apapun akan ia lakukan asal Galih dapat mengenalnya. Setidaknya mengenal Tuhannya.

Dalam derap malam yang bisu. Sang rembulan masih terang. Menerobos celah jendela yang masih terbuka di kediaman Jendral Dwitomo Susanto.

Antara LebanonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang