Pagi itu sudah sangat ramai. Banyak orang yang berlalu lalang. Namun masih saja terlihat rapi. Barisan tentara baret biru telah berbaris dengan gagah. Penghormatan telah di mulai. Wajah-wajah bangga dan bahagia itu menghormat dengan amat kebanggaan. Senyumnya tak henti-henti berkembang. Bukankah membela negeri sendiri tiada melanggar hukum. Bukankah suatu kebanggaan menjadi salah satu dari pasukan perdamaian.
Komando telah di kerahkan. Saatnya pasukan baret biru berpamitan pada keluarga masing-masing. Seketika barisan itu mulai berpencar. Bubar. Semuanya berpencar mencari sanak saudara masing-masing. Menitipkan rindu yang akan mereka bawa ke tanah Lebanon. Setya setengah berlari menuju kedua orang tuanya dan Galih di sana. Ia merengkuh kedua tubuh orang tuanya. Yuni tampak menangis di pelukan putranya.
Tangisan yang bercampur aduk. Antara bangga, sedih dan bahagia. Siapa yang tak akan menangis jika anaknya akan pergi ke negara konflik. Siapa yang tak akan bangga dan bahagia ketika anaknya terpilih menjadi pasukan Garuda. Menjadi satu dari sekian banyak pasukan perdamaian.
"Jangan menangis ma.."
"Jaga diri baik-baik set. Mama hanya minta pulang dengan selamat. Jangan pernah tinggalkan kewajiban mu sebagai muslim"
"Iya ma"
Setya melepas pelukannya. Dwitomo menatap anak laki-laki pertamanya dengan sangat bangga. Dulu ia yang harus pergi sebagai pasukan perdamaian. Tapi sekarang, putranya telah melanjutkan kiprahnya. Matanya menunjukan rasa bangga. Ia menepuk bahu kokoh milik Setya. Bahkan bahunya lebih kokoh daripada bahu yang ia miliki sekarang.
"Salam satu komando"
"Siap!"
Setya tersenyum. Ia menatap bocah laki-laki yang ada di samping Yuni. Di peluknya bocah laki-laki itu. Air mata mulai turun di pipinya yang kokoh. Yuni mengusap lembut bahu Setya. Setya meraih tangan Galih. Menempelkan bibirnya pada tangan Galih.
"Kakak pergi, jaga mama dan papa"
Galih mengangguk. Mungkin ia mengerti dengan yang di katakan Setya. Tubuhnya meraih tubuh Setya. Ia memeluk Setya sekali lagi. Hati Setya luluh. Ia luluh seketika. Ia tak pernah di peluk adiknya seperti itu. Setya menepuk bahu Galih dengan lembut. Sungguh rasa sayangnya benar tak akan terganti.
"Kakak sayang kamu"
Galih melepaskan pelukannya. Tangannya meraba wajah Setya. Di hapusnya pipi kakaknya yang basah. Setya tersenyum. Betapa Adriana telah memberi kebahagian pada keluarga itu. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Yah, Adriana. Apakah dia tak akan datang kali ini. Banyak pertanyaan yang ingin Setya tanyakan. Namun siapa dirinya bagi Adriana. Bahkan ia telah menyiapkan sesuatu. Berharap gadis bermata cokelat itu akan datang menemuinya.
Rasa kecewa sedikit menusuk relungnya. Tapi apalah daya. Ia bukan siapa-siapa. Wajahnya hampir saja menunduk. Ketika matanya seketika membelalak. Orang yang ia cari telah datang. Adriana benar-benar datang. Gadis itu berjalan di tengah-tengah keluarga tentara yang lain. Mencari kesana kemari. Senyumnya langsung terkembang begitu saja. Ia bahagia. Cukup.
"Ma pa, Adriana"
"Temui dia"
"Iya ma"
Setya berjalan menemui gadis itu. Syal birunya terbang tertiup angin. Begitu cantik. Setya berhenti tepat di depan gadis itu. Adriana tersenyum. Senyum yang begitu indah. Hampir saja ia menangis. Matanya telah berkaca-kaca. Namun senyuman Setya mampu meluluhkannya.
"Akhirnya..."
"Kenapa?", Tanya Setya.
"Aku kira, kamu... Kamu..."
Setya meraih tubuhnya dalam pelukannya. Adriana menangis dalam pelukan itu. Sebuah ketakutan yang ia rasakan. Ia takut kehilangan. Sungguh. Adriana sangat takut kehilangan.
"Jangan menangis. Aku belum pergi. Aku kira kamu tidak akan datang"
"Aku pasti datang set"
"Aku percaya Adriana"
Adriana melepas pelukannya. Ia menghapus air matanya. Ia mulai tersenyum pada Setya. Setya tersenyum pada gadis itu. Ada rasa bahagia dalam benaknya. Entah apa. Tapi benar-benar membuat hatinya ingin melompat. Darahnya berdesir tak beraturan.
"Adriana, kamu cantik"
Pipi gadis itu mulai bersemu merah. Ronanya semakin cantik terlihat. Setya terbius dalam cantiknya. Seakan Tuhan tengah mengirim satu dari sekian banyak bidadari-Nya dari langit.
"Ada satu hal Adriana, aku lebih suka kamu menutup rambutmu"
Setya mengeluarkan sebuah selendang biru dari tasnya. Entah mengapa pikirannya ingin membeli barang itu untuk Adriana. Ia mulai memakaikan selendang biru itu di kepala Adriana. Cantik. Sangat cantik. Bahkan bukan seperti Adriana yang ia lihat.
"Kamu lebih cantik. Bukankah wajib hukumnya perempuan yang sudah baligh menutup auratnya?"
"Ya"
"Saya tidak menggurui. Hanya saja saya suka melihatmu seperti ini. Saya yakin Tuhan juga lebih suka. Kamu cantik. Sangat cantik bahkan dan saya mengakui itu. Bahkan, saya mencintai kamu"
Deg
Adriana tersentak. Ia tak pernah tahu Setya mencintainya. Entah itu benar atau tidak. Ia pun tak tahu. Setya menggenggam kedua tangannya. Adriana membelalakkan matanya."Aku sungguh mencintaimu. Entah sejak kapan. Apa kamu mau menungguku kembali? Aku tak memintamu berhijab sekarang, tapi aku hanya tak ingin kamu berhijrah sedikit demi sedikit. Aku ingin menuntunmu menuju janah-Nya. Apa kamu siap?"
"Aku akan berusaha"
"Aku percaya padamu Adriana"
Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Setya meraih tangannya yang kecil. Ia menariknya. Mencium kening Adriana begitu saja. Tak terduga.
"Aku akan berangkat, jaga dirimu. Jika nanti aku kembali lagi ku harap Adriana masih lah ibu guru Adriana bukan yang lain"
"Dan apabila kamu kembali ku harap kamu adalah Setya yang sama dengan Setya yang bersumpah di hadapanku ini untuk kembali"
Setya tersenyum pada gadis itu. Entah bagaimana perasaannya menjadi tak menentu. Ia takut. Ia takut Adriana akan hilang dari hidupnya. Ia tak ingin gadis itu berlalu begitu saja. Entah apa yang telah terjadi namun semuanya terasa begitu cepat.
"Adriana seringlah berkirim pesan padaku"
"Pasti"
Suara komando telah terdengar. Setya meninggalkan Adriana. Ia setengah berlari. Namun sesekali ia menghadap ke arah gadis itu lagi. Barisan baret biru telah di kumpulkan. Berbaris dengan rapi. Suara perdamaian rasanya telah berseru dalam hati para prajurit. Menggebu. Menyeru. Gaduh.
Satu persatu dari mereka mulai naik ke dalam sebuah pesawat. Pesawat khusus yang akan membawa mereka jauh dari ibu Pertiwi. Pesawat yang akan membawa mereka terbang ke negara konflik jauh disana. Mereka tak memikirkan apapun lagi. Hidup dan mati hanya Tuhan yang mengerti. Manusia hanya bisa mengikuti.
Adriana menatap lekat pria yang mulai memasuki pesawat. Pria itu menatap ke arahnya. Melambaikan tangannya dengan senyum yang terkembang. Adriana tersenyum. Namun hatinya sedikit perih. Ia takut kehilangan. Sungguh perpisahan adalah hal terpahit yang pernah ada. Kita harus melupakan semua kenangan yang terlukis untuk menepis air mata. Hanya ikhlas dan sabar yang menjadi teman setia saat itu.
Perlahan pria itu tak lagi tampak. Semuanya telah masuk ke dalam pesawat tak ada lagi yang tersisa. Isakan tangis keluarga mengiringi perjalanan mereka. Adriana masih menatap nanar pesawat itu.
"Selamat jalan sersan...", Gumamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Lebanon
RomanceKetika perasaan cinta menggetarkan hati seorang Bintara muda, Sersan satu Setya Susanto. Akankah itu cinta atau rasa kagum pada seorang psikologis Adriana Iswara yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya tanpa terduga. Akankah keberanian dan kelembutan Ad...