Bau embun menyeruak. Terasa dingin, sedikit basah. Aromanya bercampur dengan aroma pagi yang cerah. Tapi sedikit mendung di langit sebelah selatan. Suara garpu dan sendok bertalu. Tak ada seorang pun yang bicara. Semua terdiam. Terpusat pada sarapan mereka masing-masing.
"Bagaimana ma?",kata Dwitomo memecah keheningan. Yuni mendongak. Matanya terasa berat. Ia menggelengkan kepalanya dengan lemah.
Dwitomo tampak kecewa. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Menghela napas dalam. Harapan satu-satunya terasa sangat sulit di raih oleh Galih. Entah cara apa lagi yang akan coba ia lakukan.
"Adriana bahkan belum membuka suratnya pa. Semalam Mba Rumi telpon pada Mama",kata Yuni dengan pasrah.
Setya menghentikan gerakan sendoknya. Ia mengerti apa yang di bicarakan kedua orang tuanya. Adriana, gadis yang kemarin begitu mudah menenangkan Galih. Bahkan ia dan keluarganya sangat berharap banyak pada gadis itu.
"Biar aku yang bicara pa", Setya angkat bicara.
"Mungkin tidak perlu tuan. Saya berubah pikiran", suara halus milik Adriana menggema di ruang makan.
Yuni beranjak dari duduknya. Matanya terbelalak tak percaya gadis itu ada di ruang makannya. Seperti seorang malaikat yang langsung turun dari langit.
"Tante Yuni, saya berubah pikiran. Tapi saya tidak sukarela untuk menolong kalian", katanya nadanya sedikit angkuh.
"Tenang nak, kita akan siapkan bayarannya. Perbulan. Ayo duduk dulu. Kita sedang sarapan. ikutlah nak", kata Yuni.
"Maaf Tante, saya tidak selera hari ini", katanya lagi.
Adriana menghirup bunga aster yang ia bawa. Sebuket aster putih yang begitu indah. Dengan hiasan pita warna merah disisi buket itu.
"Dimana Galih? Kenapa dia tidak ikut sarapan?", katanya.
Orang-orang membisu. Keluarga Susanto memang tidak pernah mengikutkan Galih dalam suasana makan bersama. Anak itu pasti akan mengacau meja makan. Makan menggunakan tangan, berserakan, membuat meja kotor, dan masih banyak lagi. Tapi bukan itu yang di khawatirkan keluarga Susanto. Mereka justru khawatir ketika Galih memecahkan sesuatu dan pecahannya membuat tangannya terluka. Tak di herankan keluarga Susanto memang benar-benar menyayangi anak itu.
"Hmm, Adriana, Galih tidak pernah sarapan bersama kita lagi",Kata Setya.
"Kenapa? Apa karna anak itu makan seperti binatang?", entah mengapa amarah Adriana tersulut. Gadis itu benar-benar tak suka perlakuan terlalu khawatir keluarga itu pada Galih.
"Bukan begitu. Apa kamu tau bagaimana perasaan saya ketika melihat adik saya terluka dengan pecahan piring?!", kata Setya dengan nada sedikit keras.
Adriana menghela napas. Benar, semuanya benar. Galih sedikit berbeda dari Panji. Tapi pasti ada jalan untuk seluruhnya. Ia menatap Aster putih dalam genggamannya. Ia sedikit tersenyum simpul. Ingatannya akan panji yang sangat suka Aster putih terbuka. Bagaimana Panji sangat menyukainya. Menyukai harumnya dan semuanya.
"Dimana saya bisa bertemu Galih?", kata Adriana.
"Di lantai atas, biar saya tunjukan", kata Setya.
"Saya ingin tante Yuni yang menunjukan", tambah gadis itu.
"Ayo nak, ayo..",kata Yuni sembari merengkuh tangan gadis itu.
____________________________________Yuni membuka sebuah pintu kamar. Pemandangan yang menyedihkan. Dimana seorang bocah laki-laki duduk di lantai. Dengan makanannya di sebuah piring plastik.
"Kami memberinya sebuah piring. Hanya sebuah piring plastik. Kami takut jika dia terluka", seloroh Yuni. Matanya kian berkaca-kaca kala melihat anak laki-laki bungsunya makan seperti binatang. Tak ada yang salah dari ucapan Adriana. Semuanya benar. Putranya memang bertingkah seperti binatang.
Adriana menatap Yuni yang berdiri di sampingnya. Entah mengapa rasa iba menyelimuti hatinya. Hatinya memang keras, tapi sejuta kelembutan memang terpancar dalam jiwanya. Gadis itu menepuk bahu Yuni.
"Saya akan berusaha..", kata Adriana. Yuni tersenyum menatap gadis itu. Dia tahu semuanya. Janji Tuhan tak pernah ingkar bagi siapapun yang percaya Tuhan dan seluruh keajaiban-Nya. Tuhan mengirimkan Adriana untuk Galih.
"Saya percaya padamu nak, apapun yang terjadi", kata Yuni. Gadis itu tersenyum begitu manis. Yuni memeluk Adriana begitu saja. Terasa hangat dan nyaman.
Adriana melepas pelukannya. Ia mulai mendekati Galih. Di letakannya bunga Aster di dalam vas kosong di meja nakas. Tubuhnya berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Galih. Di tatapnya wajah itu. Seakan Panji tersenyum di hadapannya kali ini. Seakan Panji lah yang memanggilnya untuk membantu Galih.
'Kakak datang Panji. Kakak akan bantu Galih. Kamu adalah anak yang baik Galih, saya akan membantumu bagaimanapun caranya', gumannya dalam hati.
____________________________________Tak berselang lama, Adriana pamit untuk pulanh. Betapa bahagianya hati Yuni pagi itu. Harapannya akan segera tercapai. Allah memang benar dengan segala janji yang Dia Firmankan dalam Kitab-Nya.
Yuni meraih tubuh suaminya. Air mata menitik deras dalam pelupuk matanya. Tak bisa di bendung lagi. Maha Kuasa Tuhan mengabulkan doanya. Tak ada yang lebih bahagia ketika keajaiban datang menerpa.
"Apa yang dikatakan Adriana ma?", kata Dwitomo. Suara lirih. Ada sesuatu yang tercekat.
"Galih kita.. Galih kita akan memiliki dunianya pa. Adriana akan kembali besok. Kita kosongkan kamar Galih sekarang ya pa", katanya dengan isakan.
"Tapi untuk apa ma?", tanya Setya.
"Itu cara pembelajaran Adriana set", ungkap Yuni.
Setya terdiam. Ada rasa kekhawatiran. Ia mencoba untuk percaya. Apakah pada gadis angkuh. Atau pada kepercayaan ibunya. Dalam hatinya sangat takut. Kalau-kalau Gadis itu akan gagal. Terlebih dirinya akan segera pergi bertugas dalam beberapa bulan lagi.
____________________________________"Bagaimana sayang?", Tanya Rumi setelah Adriana sampai di rumah.
"Besok saya sudah mulai dengannya Bu", jawab Adriana. Gadis itu duduk di kursi meja makan.
Wajahnya terlihat pucat pagi ini. Mungkin udara dingin membuatnya lesu. Atau mungkin ia belum makan sama sekali sejak berangkat ke rumah pak Dwitomo tadi.
"Kamu pucat sayang", kata Rumi.
"Aku laper Tante, aku nggak mau makan kecuali masakan Tante aja", katanya. Sedikit kata itu seakan menumbuhkan seribu bahagia dalam hati Rumi. Sadar atau tidak, Adriana telah mengucapkan kata indah bagi Rumi.
"Nah, ini ibu buatkan makanan kok buat kamu", kata Rumi.
Satu persatu makanan tersaji dalam meja bundar. Tidak terlalu kecil namun cukup besar untuk dua orang. Semua makanan tersaji di atas meja. Makanan paling lezat bagi Adriana. Bukan hal rahasia lagi jika masakan Rumi memanglah lezat. Tak heran Rumi hidup dan Adriana sekarang bertopang pada ketering Rumi. Mereka berdua tak mungkin lagi mengandalkan uang pensiunan dari suami Rumi.
Pagi itu terasa menenangkan bagi Rumi. Mata cokelat milik Adriana begitu membuainya. Ia kalap dengan suasana mata itu. Indah, tenang dan begitu menyenangkan. Dalam hatinya, ia selalu berdoa untuk si mata cokelatnya. Betapa beruntungnya siapapun nanti yang akan menjadi belahan jiwanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Lebanon
RomanceKetika perasaan cinta menggetarkan hati seorang Bintara muda, Sersan satu Setya Susanto. Akankah itu cinta atau rasa kagum pada seorang psikologis Adriana Iswara yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya tanpa terduga. Akankah keberanian dan kelembutan Ad...