Panggilan Hati

5.4K 341 3
                                    

"Assalamualaikum warahmatullah...."

"Assalamualaikum warahmatullah...."

Adriana baru saja selesai bersujud. Mengadukan segala keluh kesahnya. Bersyukur atas nikmat yang telah ia rasakan. Bersyukur atas nafas yang masih ia hirup. Bersyukur atas denyut jantung yang masih berdetak. Ia mulai mengadahkan kedua tangan. Bercerita pada sang maha kuasa.

Mengatakan apapun yang menjadi pengharapannya. Sayup-sayup ia dengar suara bergaduh. Seperti sebuah gelas yang pecah. Ia bangkit dari duduknya.

"Astaghfirullah..", katanya.

Adriana benar-benar terkejut mendapati tangan Galih yang berdarah. Tanpa pikir panjang, ia menyahut sebuah kain di atas meja nakas. Entah kain apapun itu. Ia memeriksa tangan Galih yang berdarah. Kemudian membebat tangan itu. Bersyukur tangannya hanya tergores, pecahan gelas itu tak ada yang masuk ke dalam tangannya.
Adriana meraih tangan kirinya yang tidak terluka. Menempelkan pada bibirnya.

"Kamu kenapa?",tanyanya.

"Baaa.... Ba....!!", Kata Galih sembari berteriak. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kencang.

Mengutarakan pada Adriana bahwa dirinya baik-baik saja. Galih tidak merasa sakit sekalipun. Sakit itu seakan hilang ketika ia menyadari niatnya untuk menemui Adriana. Tangannya hendak meraih pecahan kaca dari gelas itu. Dengan sigap Adriana meraih tangannya. Ia kembali mendekatkan tangan bocah itu pada bibirnya.

"Ada apa?", Tanyanya.

"Haa... Haa.... Ha...."

Adriana menatap pecahan kaca itu. Ada sebuah kertas di atas nampan yang tadi di bawa Galih. Ia menatapnya. Kemudian menatap Galih. Ia kembali mendekatkan tangan bocah itu pada bibirnya.

"Kertas?", Katanya.

Galih mengangguk dengan antusias. Matanya mengerjap begitu indah. Bocah itu memiliki mata hitam yang indah. Andai saja mata itu dapat berfungsi selayaknya orang biasa, andai saja bocah itu bisa menyaksikan dunia. Tapi Tuhan begitu menyayanginya. Dia kurangkan dosa Galih dengan cara terlahir istimewa.

Adriana meraih kertas itu. Ia masih menggenggam tangan Galih. Dibaca huruf demi huruf, kalimat demi kalimat. Seketika bulir airnya menetes. Dengan sigap ia memeluk Galih. Entah bocah itu mendapatkan kertas itu dari mana. Yang jelas tulisan yang tertera membuatnya amat bahagia. Adriana kembali mendekatkan tangan Galih pada bibirnya.

"Dari mana kamu dapat ini"

"Aaaaa.... Aaaaa.... Uuu... Iiii.... Uuuu.. huuuu.... Ururru..."

Adriana memperhatikan setiap gerak-gerik Galih. Kini bocah itu dapat berkomunikasi dengan bahasa isyaratnya. Adriana tidak hanya berhasil, gadis itu juga telah merebut hati Galih. Ia kembali mendekatkan bibirnya pada tangan bocah itu.

"Jadi kamu mencari berita di koran yang di bacakan bibi untuk ibu guru? Kenapa?"

"Uuuu... Aaauu... Ururu... Ta.... Aka... Uuuu... Aaaa... Ururu... Uuu... Aaaa.... Iiiiiiiiiii.. aaaa... Aannn... Iiiiiiiiiii Akaa iiii, iiii aaaaa iiiii uuuuu"

Ia mengamati setiap gerakannya. Tak mampu lagi Adriana berkata-kata. Dugaannya benar. Galih bukanlah orang yang keterbelakangan mental. Hanya saja selama 14 tahun, tak ada orang yang mengetahui cara berkomunikasi dengannya. Ia normal. Tidak gila. Atau memiliki penyakit mental. Bahkan jika ada orang yang mengatakan bahwa Galih gila, maka Adriana lah yang pertama kali akan menampar wajahnya. Ia tak mampu lagi menahan tangis. Adriana mendekatkan kembali tangan Galih pada bibirnya.

"Kamu tahu ibu guru mencintai kakak dari mana? Kamu mau ibu guru pergi ke sana untuk menolong orang-orang seperti kamu? Kenapa? Galih, ibu guru akan tetap sama kamu disini. Sudah banyak orang baik hati yang akan jadi relawan di sana"

Antara LebanonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang