Kalung

4.8K 330 3
                                    

Setya berlari menemui Elena. Elena tampak begitu acuh pagi ini. Tidak seperti kemarin. Padahal hubungannya kemarin sudah lumayan membaik pasca bercakap-cakap di pick up.

"Elena... Elena..."

Gadis itu berhenti. Namun tidak tersenyum atau menatap Setya seperti biasanya. Pandangannya nanar ke depan. Tanpa ekspresi. Tanpa sepatah kata pun. Wajahnya terlihat dingin.

"Elena... Kamu baik-baik saja?"

"Ya"

"Ada apa?"

"Tidak"

"Boleh meminta bantuan?"

"Apa?"

"Kamu tahu tempat patri kalung yang bagus?"

"Pamanku"

"Bisa kamu membantuku kesana sehabis dari sekolah"

"Tidak"

"Elena saya memohon"

Gadis itu terdiam. Kemudian menatap tanpa ekspresi ke arah sersan muda di hadapannya. Hatinya masih jengkel. Bagaimana bisa pria ini melupakan semua yang telah di lakukannya kemarin. Meninggalkan seorang gadis begitu saja. Namun sisinya yang lain begitu tak tega.

"Kalung apa yang akan di patri?", Katanya datar.

Setya mengeluarkan sesuatu dari kantungnya. Ia membawa kalung itu kemanapun. Ia takut kalau-kalau kalung itu hilang.

"Ini", kata Setya sembari menunjukan sebuah kalung.

Mata Elena membulat seketika. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat. Bagaimana bisa. Pikirannya mulai kalut. Air matanya tak lagi ia tahan. Seketika otaknya memintanya untuk berlari. Berlari sekencang mungkin. Ia tahu dimana ia harus berlari.

"Elena!!!"

"Elena!!!"

Elena seakan tidak peduli dengan panggilan Setya. Pria itu berlari. Mengekor di belakang Elena. Bukan main larinya. Elena rupanya cukup kuat untuk berlari kencang. Larinya begitu kencang. Hampir saja Setya kewalahan. Jaraknya dengan Elena tidak terlalu jauh. Ia masih berteriak memanggil nama gadis itu. Tapi rupanya Elena masih acuh. Ia terus berlari. Setya meraih tangannya. Elena terhenti.

"Kamu mau kemana?"

"Aku ingin bertemu dia!"

"Siapa?"

"Adriana! Adriana adikku!"

Deg...
Jantung Setya seakan berhenti. Ia tak mampu berkata-kata lagi. Benarkan yang di katakan Elena. Atau hanya dusta saja. Waktu juga ikut terhenti. Bersama dua insan yang seakan mematung di tengah tanah kering nan lapang.

"Dia adikku Setya!"

"Ikut aku"

Setya meraih tangan gadis itu. Ia berjalan dengan cepat. Tidak terlalu sulit bagi Elena mengikuti langkah panjang Setya. Mereka sampai pada sebuah balok raksasa putih. Mereka masuk ke dalam sana. Orang-orang berbaju putih itu terheran pada Setya. Terlebih gadis yang ia bawa.

"Sersan...! Nona Adriana harus beristirahat jangan anda bawa seperti itu!", Seru dokter Rony.

"Dia bukan Adriana"

Setya terus membawa Elena masuk ke dalam. Dokter Rony masih meneriakinya dari belakang. Ia mengekor Setya di belakang. Hendak meraih tangan Elena. Setya masuk ke dalam ruangan kaca. Ia berhenti. Dokter Evan tengah memberikan suntikan antitoksin pada Adriana. Dokter Rony terdiam. Semuanya terdiam.

Adriana menatap Setya. Ia tersenyum begitu lugu. Setya juga ikut tersenyum. Tidak dengan dokter Rony yang begitu heran. Ia sangat heran dengan keadaan yang ada. Bagaimana mungkin ada dua orang gadis yang begitu identik yang terlahir di tempat berbeda. Jikalau itu benar kembaran Adriana, tidak mungkin secepat itu datang ke Lebanon apalagi di daerah konflik. Pasti perijinannya akan sangat sulit.

Antara LebanonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang